Makna dari perjuangan
tak kenal kata akhir


Tiada Akhir dalam pengertian
Sunnatullah
Perjuangan manusia tidak pernah ada akhirnya. Dalam
terminologi pengelompokan para pejuang, dikenal dengan dua kelompok yang sangat
kontras: mereka yang berjuang di jalan kebajikan dan kebenaran, dan kedua,
mereka yang berjuang di jalan kebatilan dan kefasikan. Dua golongan itu
akan terus berseteru hingga hari kiamat.
Sumber
energi orang-orang beriman adalah keyakinannya kepada Allah SWT; kepada jalan
yang diridhai-Nya. Kepada prinsip bahwa semakin dekat seorang hamba kepada
Rabb-nya, maka semakin kuat energi yang ia miliki. Sedangkan orang-orang kafir,
sumber energi mereka adalah hawa nafsu dan bisikan serta godaan syetan.
Sementara syetan sendiri bersumpah tidak akan herhenti menggoda manusia sampai
kiamat nanti. Itu artinya, pertarungan antara yang hak dan yang batil akan
selalu abadi. Dan itu artinya, perjuangan hidup kita tidak mengenal kata akhir.
Perjuangan
menuju akhirat, menuju surga Allah SWT, dalam format kehidupan yang sangat
pribadi, atau format kolektif, adalah perjuangan melawan godaan syetan, tarikan
hawa nafsu, yang kini sudah beragam wajah dan perwujudannya. Ini adalah
perjuangan yang tak mengenal akhir.
Tiada akhir dalam pengertian tangga
ketakwaan yang tak terbatas
Sebagai
seorang mukmin, seluruh kerja-kerja dan jerih payah adalah kumpulan upaya
mengejar tangga-tangga ketakwaan. Sebab di sanalah mahkota kemuliaan dan
keterhormatan disunggingkan. Orang yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah
orang yang paling bertakwa.
Mahkota
itu sendiri sangat tinggi tempatnya. Di puncak, segala prestasi kebaikan ada
mahkota itu. Tapi sekali lagi puncak itu sangat tinggi sekali. Ketinggiannya
yang menjulang tak dimaksudkan untuk membuat orang mustahil menggapainya, tapi
untuk memberi ruang dan tangga pilihan amal yang sebanyak-banyaknya bagi
orang-orang beriman. Itulah mengapa, anak-anak cabang keimanan misalnya, sangat
banyak sekali. Paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalanan.
Dari
sisi pilihan amal yang bisa dilakukan, tangga-tangga pencapaian dari seluruh
makna ketakwaan itu tidak ada batasnya. Di hamparannya yang luas, kita bisa
berlomba, berlari bersama, dalam derai semangat dan gairah keimanan yang segar.
Bersama anak-anak kita, kita bisa menabung ketakwaan. Dengan mendidiknya
mengenali Allah SWT, sebagai Rabb-nya yang paling berhak disembah. Mengajarinya
akhlak dan budi pekerti yang terpuji. Bersama profesi-profesi kita, kita bisa
mengabdi, menyumbangkan manfaat bagi kehidupan sesama. Begitu seterusnya.
Dalam
pengertian lain, dengan cara apapun kita mendekatkan diri kepada Allah Swt,
cepat atau lambat, Allah tidak pernah bosan, sampai kita sendiri barangkali
yang bosan. Bahkan bila kita mendekat kepada-Nya, Allah menyambut kita dengan
lebih cepat. Bila kita berjalan, Allah menyambut kita dengan berlari kecil,
begitu seterusnya.
Di
antara kita sendiri, kemampuan kita berbuat baik juga berbeda-beda. Bila ada
yang bisa bersedekah dengan seperempat hartanya, ada orang lain yang bisa
memberikan setengah hartanya. Bila ada yang rela mengeluarkan setengah
hartanya, masih ada yang bisa menyerahkan seluruh hartanya. Begitu seterusnya.
Maka,
dari sisi tangga ketakwaan ini, seorang mukmin hidup di lintasan perjuangan
yang ada awal tapi tak pernah ada akhirnya. Sebab orang yang paling bertakwa di
sepanjang zaman adalah Rasulullah Saw. Dan itulah batas akhirnya. Sedang kita
tidak mungkin menyamai Rasulullah Saw. Maka ruang perjuangan itu tak pernah punya
batas.
Tiada akhir dalam pengertian semua
capaian hidup harus diartikan masih permulaan.
Prinsip
ini tidak sebatas bermakna etika bahwa apapun prestasi dan amal kita, itu belum
cukup. Tapi lebih dari itu, ini adalah tradisi kesinambungan yang semestinya
kita pahami dengan mudah.
Kesinambungan
adalah definisi lain dari keberlangsungan hidup. Kita semua lahir. Dan momentum
kelahiran itu sendiri menjadi tonggak sejarah, bagi orang tua kita, juga bagi
diri kita. Momentum itu sarat dengan segala rasa batin dan suka cita semua
orang yang ada di sekitar kita. Tapi, kelahiran itu hanyalah awal. Kita masih
punya tugas sambungan yang sangat panjang.
Seorang
bujangan yang mengakhiri masa lajang, sejujurnya tak benar-benar mengakhiri
perjuangan hidupnya. Ia hanya berganti nama dan status, tapi perjuangan tetap
berlangsung, lebih berat, lebih banyak tantangan, dan tentu lebih melelahkan.
Maka pada detik ketika ia telah bersuami atau beristri, sesungguhnya itu baru
awal dari perjuangan hidup baru. Ada begitu banyak beban yang menunggu. Mengarungi
kebersamaan dalam seluruh bahasa-bahasa komunikasi rumah tangga. Menghidupi
anak, mendidik dan seterusnya.
Sejak
kita lahir, kemudian dewasa, atau kemudian menikah, lalu Allah SWT memberi
karunia anak, hanya rangkaian gerbong-gerbong peran penunaian tugas. Kita
mungkin berpindah stasiun, tapi kereta kehidupan tak pernah berhenti. Sebab
perjuangan di atas kereta itu tak pernah mengenal kata akhir.
Lihatlah
Ibnu Jarir At Thabari, sang legenda di bidang tafsir. Ia tak pernah menganggap
proses belajarnya selesai hanya karena ia telah mencapai derajat ahli tafsir.
Seperti dikisahkan oleh muridnya, Ahmad bin Kamil Asyajari, bahwa At Thabari
hidup sangat sederhana. Bajunya banyak tambalan. Benangnya kasar. Ia menulis
buku dari dhuhur hingga ashar. Lalu keluar untuk shalat Ashar. Sesudah itu
duduk membacakan untuk para jama’ahnya hingga maghrib. Kemudian duduk mengajar
hingga isya’. Sesudah itu ia masuk ke rumahnya.
Ia membagi siang dan malamnya untuk kebakan diri, agamanya, juga sesama
manusia. Tapi pada hari menjelang kematiannya, ia mendengarkan sebuah do’a yang
diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad. Maka At Thabari meminta diambilkan
kertas dan tinta.
Orang-orang
berkata, “Wahai Imam At Thabari, apakah dalam keadaan seperti ini engkau masih
akan menulis?”
Maka
ia menjawab, “Hendaklah seseorang tidak melewatkan kesempatan memetik ilmu hingga ia
mati.”
Tak
lama kemudian, kurang dari satu jam setelah itu, ia menghembuskan nafas
terakhirnya, pulang ke hadapaan Allah SWT. Ia telah mengerti, dan ia teguh
dengan pengertian itu, bahwa capaian-capaian diri seorang mukmin, secara
pribadi atau bersama, tidak pernah mengenal kata cukup. Hingga kematian datang
menghentikan capaian-capaian.
Memaknai
perjuangan hidup yang tak ada akhirnya adalah juga menyadari bahwa selalu ada
yang baru di esok hari. Hari ini bukan hari kemarin. Dan hari esok bukan hari
ini. Maka perjuangan hidup, dalam lingkup apapun, harus menyiapkan diri untuk
esok yang tak pernah pasti.
Pada
segala lingkup kehidupan yang kian rumit, kompleks dan carut-marut di
serat-serat nilai dan moral yang kacau, kita harus selalu memperbarui semangat,
belajar mengantisipasi dan cerdas menemukan pilihan-pilihan pola perjuangan
yang unggul. Ada teknologi yang bisa merusak tapi juga bisa bermanfaat. Ada
pengetahuan yang bisa menghancurkan tapi juga bisa membangun.
Semua
membutuhkan para pejuang yang ruh dan nafasnya keimanan, yang talenta dan spiritnya
hanya punya satu gambar: bahwa perjuangan keimanan di dunia yang riuh ini, di
sektor politik atau sosialnya, pendidikan atau ekonominya, moral atau
edukasinya, adalah perjuangan yang punya awal tapi tak pernah punya akhir.
Dengan berkembang pesatnya
media sosial dan teknologi, membuat hari ini berbeda dengan pada masa-masa
dahulu.
Entah kenapa, kehidupan saat ini,
amat berbahaya sekali.
Ini karena, kita bisa tak
menyadari apabila bila kita futur.
Kita bisa tak menyadari perasan
iman kita sudah luntur.
Kita bisa tak menyadari
bahwa diri kita sudah berubah, dan kita telah lupa. Kehidupan hari ini memang
lebih berat dari masa-masa dahulu, hari ini lebih mudah membuat perjuangan jadi
hilang arah dan tidak fokus. Terkadang, perlu lama tafakur sebelum menentukan
langkah agar tak tersesat. Dan di situ,
kita hanya ada Allah SWT sebagai tempat berharap.
Karenanya "Jadilah orang yang berfikir
besar agar diri tidak sibuk dengan perkara yang kecil dan Gunakan waktu
keemasan untuk menuntut ilmu hingga Allah SWT dapat melihatmu
senantiasa dalam kebaikan".
Teruslah berjuang dalam setiap pencapaian yang ingin kita raih, namun selalu jadikan Allah SWT sebagai penuntun jalannya….