Senin, 15 Desember 2014





 Makna dari perjuangan tak kenal kata akhir 


 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgj3tUfuoi9TL-VDVQDVIoNfkBQg8o_Sk2nCnFwHZUPNoj1NjY0ZPm2ljuBzTE6Tqrpdug2rQenSI9wwxtNKfQUACkiA1aNVdVpPFbcGqwIkXkM3lRTiqxWsMoiHWSOOinaKfMxgLeJ_dE/s1600/komik-muslimah-90.jpg



Tiada Akhir dalam pengertian Sunnatullah


Perjuangan manusia tidak pernah ada akhirnya. Dalam terminologi pengelompokan para pejuang, dikenal dengan dua kelompok yang sangat kontras: mereka yang berjuang di jalan kebajikan dan kebenaran, dan kedua, mereka yang berjuang di jalan kebatilan dan kefasikan. Dua golongan itu akan terus berseteru hingga hari kiamat.

Sumber energi orang-orang beriman adalah keyakinannya kepada Allah SWT; kepada jalan yang diridhai-Nya. Kepada prinsip bahwa semakin dekat seorang hamba kepada Rabb-nya, maka semakin kuat energi yang ia miliki. Sedangkan orang-orang kafir, sumber energi mereka adalah hawa nafsu dan bisikan serta godaan syetan. Sementara syetan sendiri bersumpah tidak akan herhenti menggoda manusia sampai kiamat nanti. Itu artinya, pertarungan antara yang hak dan yang batil akan selalu abadi. Dan itu artinya, perjuangan hidup kita tidak mengenal kata akhir.

Perjuangan menuju akhirat, menuju surga Allah SWT, dalam format kehidupan yang sangat pribadi, atau format kolektif, adalah perjuangan melawan godaan syetan, tarikan hawa nafsu, yang kini sudah beragam wajah dan perwujudannya. Ini adalah perjuangan yang tak mengenal akhir.


Tiada akhir dalam pengertian tangga ketakwaan yang tak terbatas

Sebagai seorang mukmin, seluruh kerja-kerja dan jerih payah adalah kumpulan upaya mengejar tangga-tangga ketakwaan. Sebab di sanalah mahkota kemuliaan dan keterhormatan disunggingkan. Orang yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah orang yang paling bertakwa.

Mahkota itu sendiri sangat tinggi tempatnya. Di puncak, segala prestasi kebaikan ada mahkota itu. Tapi sekali lagi puncak itu sangat tinggi sekali. Ketinggiannya yang menjulang tak dimaksudkan untuk membuat orang mustahil menggapainya, tapi untuk memberi ruang dan tangga pilihan amal yang sebanyak-banyaknya bagi orang-orang beriman. Itulah mengapa, anak-anak cabang keimanan misalnya, sangat banyak sekali. Paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalanan.

Dari sisi pilihan amal yang bisa dilakukan, tangga-tangga pencapaian dari seluruh makna ketakwaan itu tidak ada batasnya. Di hamparannya yang luas, kita bisa berlomba, berlari bersama, dalam derai semangat dan gairah keimanan yang segar. Bersama anak-anak kita, kita bisa menabung ketakwaan. Dengan mendidiknya mengenali Allah SWT, sebagai Rabb-nya yang paling berhak disembah. Mengajarinya akhlak dan budi pekerti yang terpuji. Bersama profesi-profesi kita, kita bisa mengabdi, menyumbangkan manfaat bagi kehidupan sesama. Begitu seterusnya.

Dalam pengertian lain, dengan cara apapun kita mendekatkan diri kepada Allah Swt, cepat atau lambat, Allah tidak pernah bosan, sampai kita sendiri barangkali yang bosan. Bahkan bila kita mendekat kepada-Nya, Allah menyambut kita dengan lebih cepat. Bila kita berjalan, Allah menyambut kita dengan berlari kecil, begitu seterusnya.

Di antara kita sendiri, kemampuan kita berbuat baik juga berbeda-beda. Bila ada yang bisa bersedekah dengan seperempat hartanya, ada orang lain yang bisa memberikan setengah hartanya. Bila ada yang rela mengeluarkan setengah hartanya, masih ada yang bisa menyerahkan seluruh hartanya. Begitu seterusnya.
      
Maka, dari sisi tangga ketakwaan ini, seorang mukmin hidup di lintasan perjuangan yang ada awal tapi tak pernah ada akhirnya. Sebab orang yang paling bertakwa di sepanjang zaman adalah Rasulullah Saw. Dan itulah batas akhirnya. Sedang kita tidak mungkin menyamai Rasulullah Saw. Maka ruang perjuangan itu tak pernah punya batas.



Tiada akhir dalam pengertian semua capaian hidup harus diartikan masih permulaan.

Prinsip ini tidak sebatas bermakna etika bahwa apapun prestasi dan amal kita, itu belum cukup. Tapi lebih dari itu, ini adalah tradisi kesinambungan yang semestinya kita pahami dengan mudah.

Kesinambungan adalah definisi lain dari keberlangsungan hidup. Kita semua lahir. Dan momentum kelahiran itu sendiri menjadi tonggak sejarah, bagi orang tua kita, juga bagi diri kita. Momentum itu sarat dengan segala rasa batin dan suka cita semua orang yang ada di sekitar kita. Tapi, kelahiran itu hanyalah awal. Kita masih punya tugas sambungan yang sangat panjang.

Seorang bujangan yang mengakhiri masa lajang, sejujurnya tak benar-benar mengakhiri perjuangan hidupnya. Ia hanya berganti nama dan status, tapi perjuangan tetap berlangsung, lebih berat, lebih banyak tantangan, dan tentu lebih melelahkan. Maka pada detik ketika ia telah bersuami atau beristri, sesungguhnya itu baru awal dari perjuangan hidup baru. Ada begitu banyak beban yang menunggu. Mengarungi kebersamaan dalam seluruh bahasa-bahasa komunikasi rumah tangga. Menghidupi anak, mendidik dan seterusnya.

Sejak kita lahir, kemudian dewasa, atau kemudian menikah, lalu Allah SWT memberi karunia anak, hanya rangkaian gerbong-gerbong peran penunaian tugas. Kita mungkin berpindah stasiun, tapi kereta kehidupan tak pernah berhenti. Sebab perjuangan di atas kereta itu tak pernah mengenal kata akhir.

Lihatlah Ibnu Jarir At Thabari, sang legenda di bidang tafsir. Ia tak pernah menganggap proses belajarnya selesai hanya karena ia telah mencapai derajat ahli tafsir. Seperti dikisahkan oleh muridnya, Ahmad bin Kamil Asyajari, bahwa At Thabari hidup sangat sederhana. Bajunya banyak tambalan. Benangnya kasar. Ia menulis buku dari dhuhur hingga ashar. Lalu keluar untuk shalat Ashar. Sesudah itu duduk membacakan untuk para jama’ahnya hingga maghrib. Kemudian duduk mengajar hingga isya’. Sesudah itu ia masuk ke rumahnya.  Ia membagi siang dan malamnya untuk kebakan diri, agamanya, juga sesama manusia. Tapi pada hari menjelang kematiannya, ia mendengarkan sebuah do’a yang diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad. Maka At Thabari meminta diambilkan kertas dan tinta. 

Orang-orang berkata, “Wahai Imam At Thabari, apakah dalam keadaan seperti ini engkau masih akan menulis?”
Maka ia menjawab, “Hendaklah seseorang tidak melewatkan kesempatan memetik ilmu hingga ia mati.”

Tak lama kemudian, kurang dari satu jam setelah itu, ia menghembuskan nafas terakhirnya, pulang ke hadapaan Allah SWT. Ia telah mengerti, dan ia teguh dengan pengertian itu, bahwa capaian-capaian diri seorang mukmin, secara pribadi atau bersama, tidak pernah mengenal kata cukup. Hingga kematian datang menghentikan capaian-capaian.


Tiada akhir dalam arti akan selalu ada yang baru

Memaknai perjuangan hidup yang tak ada akhirnya adalah juga menyadari bahwa selalu ada yang baru di esok hari. Hari ini bukan hari kemarin. Dan hari esok bukan hari ini. Maka perjuangan hidup, dalam lingkup apapun, harus menyiapkan diri untuk esok yang tak pernah pasti.

Pada segala lingkup kehidupan yang kian rumit, kompleks dan carut-marut di serat-serat nilai dan moral yang kacau, kita harus selalu memperbarui semangat, belajar mengantisipasi dan cerdas menemukan pilihan-pilihan pola perjuangan yang unggul. Ada teknologi yang bisa merusak tapi juga bisa bermanfaat. Ada pengetahuan yang bisa menghancurkan tapi juga bisa membangun.

Semua membutuhkan para pejuang yang ruh dan nafasnya keimanan, yang talenta dan spiritnya hanya punya satu gambar: bahwa perjuangan keimanan di dunia yang riuh ini, di sektor politik atau sosialnya, pendidikan atau ekonominya, moral atau edukasinya, adalah perjuangan yang punya awal tapi tak pernah punya akhir.

Dengan berkembang pesatnya media sosial dan teknologi, membuat hari ini berbeda dengan pada masa-masa dahulu.

Entah kenapa, kehidupan saat ini, amat berbahaya sekali.
Ini karena, kita bisa tak menyadari apabila bila kita futur.
Kita bisa tak menyadari perasan iman kita sudah luntur.

Kita bisa tak menyadari bahwa diri kita sudah berubah, dan kita telah lupa. Kehidupan hari ini memang lebih berat dari masa-masa dahulu, hari ini lebih mudah membuat perjuangan jadi hilang arah dan tidak fokus. Terkadang, perlu lama tafakur sebelum menentukan langkah agar tak tersesat.  Dan di situ, kita hanya ada Allah SWT sebagai tempat berharap.

Karenanya "Jadilah orang yang berfikir besar agar diri tidak sibuk dengan perkara yang kecil dan Gunakan waktu keemasan untuk menuntut ilmu hingga Allah SWT dapat melihatmu senantiasa dalam kebaikan".


Teruslah berjuang dalam setiap pencapaian yang ingin kita raih, namun selalu jadikan Allah SWT sebagai penuntun jalannya….


Kehidupan tidak selalu dapat ditebak, semakin lama kita hidup, semakin banyak orang yang kita temui, dan kita dapat melihat kehidupan mereka yang berbeda-beda. Kehidupan yang di jalani dapat berubah dengan cepat maupun perlahan, terkadang sesuai dengan keinginan namun banyak juga yang tidak.

Disepanjang perjalanan, apa yang selalu kita cari dan inginkan adalah: Kebahagiaan. Namun, apa yang menjadi keinginan, dan apa yang kita impikan, tidak selalu hadir pada permukaan kehidupan. Seringkali apa yang kita cari, tidak yang kita inginkan.

Ataupun sering kita melihat diri kita sendiri, alangkah jauhnyaaaaaaaaaa diri kita ini dibandingkan kehebatan orang lain yang seusia dengan kita Terlebih jika jika orang itu lebih hebat dari sudut pencapaian duniawinya. Dan kita terus mencari ‘rasa’ itu. ‘ Rasa’ yang kita anggap hilang dari diri kita. Apa yang mampu kita lakukan di saat-saat ini?

Seperti perputaran siang dan malam, setiap kita punya siklus pribadi yang nyaris rutin. Mungkin ada dinamika di sebagian waktunya. Semacam lonjakan atau turunan ritme yang tajam. Walau tak setiap saat kita mengalami gejolak besar, berlompatan dengan kacau.

Sebabnya jelas, bahwa manusia diciptakan dengan tingkat ekspektasi dan harapan yang mungkin berbeda pada kadarnya, tapi sama pada istilahnya: orang ingin bahagia. Tak ada orang di dunia ini yang tak ingin bahagia. Siapapun mereka. Maka rutinitas hidup dimaksud adalah sekadar cara kita semua mengejar kebahagiaan itu dalam format-format yang konstan. 

Karenanya, kebanyakan kita lebih suka garis hidup yang pasti, agar kita bisa mengharapkan kebahagiaan dimaksud dengan lebih pasti juga.

Di sepanjang proses mengejar kebahagiaan itu, kemudian kita sering menemui banyak orang melakukan kesalahan pada dua hal besar :

Pertama, pada jenis kebahagiaan yang dikejar dan 
Kedua pada mentalitas dirinya sepanjang mengejar kebahagiaan itu.

Bagi seorang mukmin akhir dari seluruh harapannya tertambat di surga sana. Segala makna dari kerja-kerja dan amal-amal duniawinya hanya-lah jembatan tempat ia mengumpulkan modal pengharapan kepada Allah SWT. agar Ia berkenan memasukkan ke surga.

Tetapi pada sisi mentalitasnya, kita memerlukan sebuah prinsip mendasar:

bahwa sejujurnya, perjuangan mengejar puncak cita-cita itu, selama hayat masih di kandung badan, adalah perjuangan yang tak mengenal kata akhir. Bahkan, ia tidak pernah mengenal kata akhir selama orang-orang beriman masih ada di muka bumi.