KETIKA MAS GAGAH PERGI
(dan…Kembali)
II
(dan…Kembali)
II
Setahun kemudian…
Pagi itu
aku kembali berlari-lari mengejar bus jurusan Pulo Gadung-Depok dengan seragam
putih abu-abu.Ya, sejak kami sekeluarga pindah dari Pasar Minggu ke Rawamangun,
perjalananku menuju SMA Cendana jadi lebih lama. Bukan itu saja, aku yang
terbiasa berjalan kaki ke sekolah kini harus berdesak-desakan dalam bus,
menahan sabar saat macet, mendengarkan sumpah serapah kondektur bus pada
beberapa mahasiswa yang selalu dikiranya karyawan, dan tiba di sekolah dengan
perut mual serta kepala pening akibat supir yang ugal-ugalan dan suka mengerem
mobilnya secara mendadak.
“Kamu
nggak mau diantar saja, Gita? Capek loh di jalan. Apalagi kamu sudah kelas
III,” tanya Mama.
Aku
menggeleng. Sejak Mas Gagah meninggal, entah mengapa aku tak pernah mau naik
sedan itu lagi. Hal yang akan semakin mengingatkanku pada masa-masa
bersamanya….Lagi pula macet yang dahsyat selalu membuatku merasa lebih baik
naik kendaraan umum.
Jadi
begitulah, aku selalu berangkat lebih pagi. Jam setengah enam aku sudah berada
dalam bus dan semua jadi lebih menyenangkan. Udara yang segar, jalanan lengang,
Sopir dan kondektur yang belum stress, serta bangku-bangku yang belum
seluruhnya terisi.
“Asalaamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh! Salam sejahtera!”
Aku
melihat ke depan. Para penumpang lain juga melakukan hal yang sama tanpa
menjawab salamnya. Pengamen atau mau minta sumbangan nih?
Kulihat
lelaki dengan kemeja kotak-kotak cokelat dan celana panjang krim. Ia menyandang
tas hitam. Tak ada gitar atau kotak amal di tangannya. So,
mau ngapain nih orang?
Aku
melengos.
“Maaf bila
kehadiran saya mengganggu kenyamanan bapak Ibu dan saudara-saudara. Tetapi
ijinkanlah saya menunaikan kewajiban sebagai hamba yang telah diberikan setitik
ilmu oleh Allah SWT, yang tentunya harus disampaikan setelah diamalkan.”
Lalu
tiba-tiba saja ia mengucapkan basmallah, hamdalah…, serta syahadat. Lalu
dilanjutkannya dengan ayat Al-Qur’an dan hadis. Kayak orang yang mau ceramah
saja! Tetapi … aku tergetar. Suaranya merdu.
“Saudara-saudaraku,
Bapak-bapak dan Ibu-Ibu…, sudahkah anda membaca koran pagi ini?” sapanya.
Tak ada
yang menjawab. Lelaki itu tersenyum. Aku jengah. Tak habis pikir…, mau
ngapain sih orang ini? Kutatap wajah dan sosoknya. Hampir tak
berbeda dengan para mahasiswa pada umumnya. Tinggi, kurus, hitam berambut agak
ikal dan berkacamata minus. Yaa lumayan manis deh….
“Mengapa
banyak orang di negeri kita menjadi koruptor? Apa yang sebenarnya terjadi?
Tidakkah kita malu, sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, kita malah
mendapat ranking tertinggi dalam korupsi? Bagaimana cara mencegahnya?”
Aku mulai
terperangah. Orang-orang di dalam bus mulai mengatur duduk mereka lagi, mencari
posisi yang lebih nyaman untuk…ini dia… mendengarkan lelaki aneh itu! Apalagi yang
mau dia katakan?
Lelaki itu
terus bicara. Dan lama-lama para penghuni bus, termasuk aku larut mendengar
omongannya. Seorang bapak yang sebelumnya duduk terkantuk-kantuk di sampingku,
kini duduk tegak dengan kening berkerut. Seorang mahasiswi yang duduk tak jauh
di hadapanku terlihat memiringkan kepala dan memicingkan matanya. Dua pemuda
berambut gondrong yang baru saja bermaksud mengamen segera mengurungkan
niatnya, bahkan kondektur sesaat lupa menagih ongkos!
Wah,
lelaki ini membuat semua terkesima!
“Berapa
banyak orang miskin kian miskin karena perilaku korupsi skala kecil maupun
besar. Bermula dari diri kita, keluarga dan sekitar, mari kita berjuang untuk
menjadi pribadi yang lebih jujur, dan berahlak mulia. Jadi kesimpulannya, Islam
itu indah, tetapi kita sebagai umat Islam, seringkali membuatnya tampak buruk.
Kalau kita orang Islam, wajib malu dengan stigma korupsi yang melekat di negeri
ini. Kebenaran itu mutlak milik Allah, dan bila ada kesalahan maka itu semata
karena kekhilafan saya. Billahi fisabililhaq. Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.”
“Wa’alaikum
salaaaaaaammm!”
Kudengar
hampir seluruh penumpang bus menjawab salamnya diiringi dengan tepukan tangan.
“Minggu!
Minggu! Minggu!” teriak kondektur.
Aku
bergegas turun. Di depanku, lelaki orator itu telah melompat lebih dulu dan
segera hilang ditelan keramaian.
“Tadinya
saya kira dia mahasiswa gila. Nggak tahunya anak cerdas berbudi! Hebat dia!”
seru seorang bapak yang sempat kudengar.
Jam 06.00.
Aku baru saja membuka buku sosiologiku sambil menikmati semilir angin pagi
ketika sebuah salam menyapa seluruh penumpang bus yang masih tampak
terkantuk-kantuk….
Lelaki itu
lagi! Kali ini ia mengenakan kemeja kotak-kotak hijau dan menyandang ransel.
“Maaf,
saya mengganggu perjalanan Anda semua,” katanya tersenyum. “Sesungguhnya orang
yang ‘laisa minal khoisirin’ atau bukan termasuk orang-orang yang
merugi adalah mereka yang senantiasa nasehat-menasehati dalam keadaan apa pun.”
Kututup
buku sosiologiku. Penasaran.
“Ibnu Umar
pernah berkata: “Aku datang kepada Nabi SAW, maka bertanyalah seorang pria
Anshor: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bijaksana dan paling mulia?”
Maka Nabi Saw menjawab: “Orang-orang yang paling banyak mengingat mati dan
gigih berusaha untuk persiapan menghadapi mati, merekalah orang-orang yang
bijaksana sehingga mereka itu nantinya pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan
keutamaan akhirat,” demikian hadist riwayat Ibnu Majah. Maka kembali pada diri
kita, sudahkah kita siap menghadapi kematian yang pasti datang? Dalam Al-Qur’an
dikatakan kita tak akan bisa lari daripadanya. Bahkan saudaraku, bisakah kita
menjamin bahwa esok kelak kala matahari terbit kita masih hidup?”
Hening.
Yang terdengar cuma deru mobil dan suara teriakan kondektur bus. Aku tergetar.
Ah, mati. Mengapa lelaki ini bicara soal mati? Hal yang sudah lama tak lagi
kupikirkan sejak Mas Gagah pergi….
Lelaki itu
terus bicara. Suaranya yang keras bersaing dengan deru bus dan hingar bingar
jalan raya. Tapi ia seolah tak peduli. Kini kutangkap ketulusan, juga semangat
yang menyala-nyala dalam dirinya.
“Minggu!
Minggu!”
Setelah
berpamitan pada semua penumpang, seperti biasa ia turun. Sebelumnya kudengar
suara seorang Ibu. “Saya kira anak tadi ceramah terus minta duit…, nyatanya kok
enggak ya, padahal saya sudah siapin!” katanya tak mengerti sambil memasukkan
kembali selembar ribuan ke dalam tasnya. Beberapa kepala yang lain
manggut-manggut.
Upss! Mestinya aku turun juga di
Pasar Minggu. Yaaa, kelewatan deh! Habis, lelaki itu hari ini membuatku harus
mengusap airmata. Mati. Kata-kata itu terngiang terus setelah aku sampai di
sekolah!
“Memangnya
orang itu ngapain? Iseng banget?” tanya Tri teman sekelasku, di kantin sekolah.
“Ya
ceramah!” kataku sewot. Dari tadi aku sudah ramai cerita….eee Tri malah telmi!
“Orang kan
ceramah di masjid, di mushala. Masak di bus!? Terus penumpang dimintain duit
berapa?” tanyanya sambil meminum teh botolku.
“Kan tadi
udah aku ceritain, dia nggak pernah minta duiiit!” bibirku maju beberapa senti,
dan tanganku merebut kembali teh botolku tepat sebelum Tri menghabiskannya.
“Jangan
marah dong, Non.
Kayaknya kamu kesengsem sama cowok tak bernama itu ya?” Tri
cengar-cengir.
“Memangnya dia keren? Seperti siapa? Seperti Nicholas Saputra,
Dude Herlino? Atau seganteng almarhum Mas Gagah?”
Aku menarik
napas panjang. Tri…Tri….
“Maaf
Gita, maaf…aku nggak bermaksud mengingatkanmu pada almarhum…,” tukas Tri
seperti mengerti pikiranku.
“Assalaamu’alaikum!”
Aku
menoleh. Tika!
“Kalian
berdua tidak ikut rapat rohis? Hari ini ada beberapa program yang akan kita
bicarakan lho,” kata Tika sambil duduk di sampingku.
“Oh iya,
Tik! Aku malah ada usulan yel untuk rohis baru kita!” seruku seperti ingat
sesuatu. Wajah Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep dan Mas Gagah melintas di
hadapanku.
“Oh ya?”
wajah Tika berseri. “Seperti apa yel-nya? Teman kita yang laki-laki juga belum
dapat tuh yel rohis.”
Tri pun
menatapku ingin tahu.
Aku
melihat sekeliling. Sudah lumayan sepi. Saatnya beraksi. “Nih, kayak gini nih
yel -nya!” Aku berdiri tegak menghadap mereka, lalu berteriak keras , “Rohis
Cendana!” Setelah itu aku melompat lompat sambil mengepalkan tangan ke atas:
Huh huh huh huh: Istiqomah!”
Tika dan
Tri memandangku aneh.
“Itu tadi
apaan, Git?” Tanya Tika.
Ah, mereka
memang tak tahu yel keren. Sangat tidak apresiatif. Mereka malah geleng-geleng
kepala.
“Dasar
kelakuan! Dah pakai jilbab, masih aja preman!” seru Tri padaku.
Tika
tergelak.
O…o!
Hari itu,
pulang sekolah, Tri mengajakku dan Tika mampir ke rumahnya di Depok I. Sambil
menyelesaikan paper Sosiologi, kami melanjutkan obrolan tentang “makhluk aneh
dalam bus itu”. Tapi sepertinya Tri lebih tertarik membicarakan Bob, anak
basket idola cewek-cewek Cendana.
Akhirnya
tak lama aku pulang. Kali ini naik kereta Jabotabek. Aku biasa turun di Cikini
dan dengan menyambung sekali kendaraan sudah bisa sampai di rumah. Kereta
melaju dan bergoyang-goyang. Aku menyelusuri gerbong demi gerbong, mencari
tempat yang agak nyaman. Seperti biasa angkutan rakyat ini benar-benar
berjubel. Semua jenis manusia dengan beragam profesi ada di sini. Mahasiswa,
pedagang asongan, dosen, karyawan, karyawati, pengangguran, pencopet, dan tentu
saja… para pengemis yang selalu ‘memeriahkan suasana’!
Bau
keringat, bau sampah. Suara makian, batuk. Lalu ludah dan dahak yang dibuang
sembarangan, tangisan bayi, kerincingan para pengamen…. Sampai di
gerbong ke empat…ya ampun! Aku terkejut sekali! Si Mas Kotak-kotak (kemejanya
selalu kotak-kotak) itu ada di situ! Dan seperti biasa, ia sedang ceramah!
Suaranya
di ujung gerbong tak begitu terdengar dari tempatku berdiri kini. Aku maju
mendekat. Kebetulan ada bangku kosong tak jauh di depan Si Kotak-kotak. Dan
dengan cueknya aku duduk. Sungguh, aku ingin mendengar apa yang dikatakannya.
“Jadi
untuk apa kita hidup? Sebagai muslim, kita harus punya jawaban pasti untuk pertanyaan
tadi,” katanya.
“Hidup ya
untuk makan, menikah dan bayarin sekolah anak-anak!” kata seorang bapak tua
bergigi ompong, pedagang jambu yang duduk di dekat pintu, disambut gerrr yang
lain dan gemuruh suara kereta.
Si
Kotak-kotak Merah Hati tersenyum.
“Hidup itu
ya untuk berusaha…,” kataku tiba-tiba dengan suara keras.
“Ya, adik
betul! Berusaha untuk senantiasa mengabdi kepadaNya. Di surat Adz-Dzariyat ayat
56 Allah bersabda: Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah, mengabdi kepadaKu!”
Aku
menunduk. Kena lagi gua!
Entah apa
namanya. Kebetulan barangkali. Tetapi hari terus berlalu dan hampir setiap hari
aku bertemu dengan lelaki tak bernama yang selalu memakai kemeja kotak-kotak
itu. Di bus, dalam kereta… bahkan yang bikin aku heran bukan kepalang, aku
pernah bertemu dengannya kala tak sengaja menyusuri rumah-rumah triplek di
sepanjang kali Ciliwung! Pernah juga di Tanah Abang, lalu di Pekan Raya Jakarta
saat aku, Mama, dan Papa ke sana! Kebayang nggak sih? Di PRJ dia
ceramah ini sambil menggelar buku-buku agama.
“Buku ini
berapa, Nak?” tanya seorang bapak tua berbaju lusuh bersandal jepit sambil
memegang buku tentang sholat tersebut.
“Mengapa
Bapak memilih buku itu?”
Si Bapak
tersenyum malu. “Saya ingin menjaga shalat saya. Selama ini belum benar.”
“Ambillah,
Pak. Semoga bermanfaat. Saya berikan untuk Bapak.”
Si Bapak
terpana. Langsung mendekap buku tebal karangan Al-Ghazali itu dengan haru.
“Sekarang
boleh saya meminta buku tentang warisan ini?” tanya seorang Ibu berpakaian
bagus. Wow, silau juga aku memandang perhiasannya.
“Silakan
Ibu letakkan uang infaqnya di kaleng ini seikhlas Ibu. Insya Allah untuk
disalurkan pada orang yang berhak menerimanya,” seru Si Kotak-kotak.
Begitulah.
Di mana ia berada di sana selalu banyak yang memperhatikannya. Wajar. Habis
yang diangkat menjadi bahan pembicaraan selalu yang menarik, seru, aktual dan
hebat. Belum lagi manuvernya.
Lelaki
berkemeja kotak-kotak itu juga sangat unpredictable dan berani. Pernah
kami sama-sama di dalam miniarta yang padat. Hampir tak ada celah, sesak
sekali. Ia bahkan tak menyampaikan tausiyahnya seperti biasa. Tiba-tiba saja
terjadi keributan. Dalam gerak cepat kulihat lelaki itu mencengkeram tangan
seorang pemuda berbaju rapi.
“Kembalikan handphone ibu
itu!” katanya tegas, pada pemuda tersebut, sambil memegang tangan si pemuda
yang mencoba menyembunyikan sebuah ponsel.
Para
penumpang langsung ribut dan berteriak-teriak, “Copeeet! Copeet! Gebukin aja,
Bang! Habisin! Habisin!” beberapa pemuda mencoba merangsek maju seakan ingin
membantu Si Kotak-kotak!
“Tahan!”
teriak Si Kotak-kotak. “Bu, ini hape ibu. Lain kali hati-hati,” ujarnya.
Si Ibu
yang diajak ngomong bengong. “Lah kapan diambilnya?” gerutunya sambil menerima
benda itu kembali. “Nah iya ini hape saya! Dasar copet!”
Beberapa
orang mendekati si pencopet, sepertinya ingin menghakimi. Lalu tiba-tiba sebuah
pukulan mendarat di wajah pencopet itu!
“Tahan,
Bang! Tahan!” teriak si Kotak-kotak lagi. “Pak Sopir, berhenti, Pak!”
Saat
miniarta berhenti Lelaki itu menarik si pencopet turun. “Kamu harus
bertanggungjawab,” katanya.
Beberapa
lelaki ikut turun.
Miniarta
lalu melaju. Dari kaca belakang miniarta kulihat Si Kemeja kotak-kota berusaha
mencegah amuk beberapa pemuda. Ia merangkul pencopet itu dan mengajaknya entah
kemana.
Semoga
insyaf tuh orang, pikirku. Syukur saja tak jadi bulan-bulanan.
Soal Si
Kotak-kotak, terus terang aku makin penasaran pada pribadinya. Siapa dia? Siapa
orangtuanya? Kuliahkah, pengangguran atau sudah bekerja? Di mana rumahnya? Dan
mengapa ia seakan sangat mirip dengan seseorang yang dekat denganku?
Pertanyaan
itu belum juga terjawab hingga aku diterima di Fakultas Ilmu Budaya UI!
“Palestina
masih terus berjuang untuk kemerdekaan mereka. Di negeri itu, semua yang
menentang penjajahan disebut teroris, bahkan bocah-bocah yang membawa batu
melempari tentara Israel. Dan dunia diam. Mengapa? Karena korbannya muslim?
Jadi berapa pun yang tewas tak ada yang peduli? PBB cuma mengaku bersimpati.
Amerika cuma jago menghimbau, sementara negeri-negeri Islam berpecah belah.
Wahai kaum muslimin Indonesia, dimanakah kalian? Tidakkah kita sempat untuk
sekadar mendoakan mereka?”
Ramadhan,
jelang berbuka puasa. Di dalam kereta api Jabotabek dari kampus menuju Cikini,
kulihat airmata mengambang di pelupuk mata lelaki tak bernama itu. Ia masih
seperti dulu. Aneh, tapi kharismatik. Dengan semangat yang tak surut sedikit
pun. Bahkan pada saat puasa begini ia membuatku ingin menangis.
“Ramadhan
seperti apakah yang dilalui saudara-saudara kita di Palestina? Tahukah Anda,
pada Ramadhan mulia ini kebiadaban dan kekejian terus digelar di sana? Apa yang
terjadi melebihi tragedi Nazi. Para bocah kehilangan tangan dan kaki, para
pemuda dan wanita juga dibantai, rumah-rumah mereka dirobohkan dan tanah mereka
dirampas, sementara kita di sini masih tertawa-tawa tak percaya.”
“Darimana
kamu tahu tentara Israel lebih kejam dari Nazi?” kejar seorang bapak—sepertinya
dosen—dingin.
Si
Kotak-kotak mengeluarkan berbagai kliping surat kabar dan majalah, lengkap
dengan foto-foto yang telah diperbesar. “Lihatlah sendiri. Saya mengumpulkannya
dari berbagai majalah internasional. Silakan anda lihat! Pertanyaan saya cuma
satu. Adakah ukhuwah Islamiyah yang masih tersisa di dada kita? Bahkan kita
kalah reaktif dengan rakyat Amerika Serikat yang bila ada satu saja warga
negaranya tewas di Irak atau hilang di Indonesia, pemberitaan begitu gencar dan
simpati dunia segera mengalir. Tapi ribuan saudara kita dibantai kita bahkan
tak mengetahuinya….”
“Kenapa
kita harus memikirkan Palestina? Jauh amat. Pikirin yang dekat-dekat saja dulu.
Nih negeri kita yang semakin miskin dan kacau…,”nada sinis seorang pemuda
gondrong. “Palestina dipikirin. Kayak nggak ada kerjaan….”
Lelaki
berkemeja kota-kotak itu menghampiri si Pemuda. “Abang betul,” katanya.
“Prioritas kita adalah saudara-saudara kita satu bangsa, satu tanah air. Satu
daerah, satu RT, pera tetangga kita! Kita tak boleh mengabaikan mereka. Apa
yang bisa kita lakukan untuk meringankan beban saudara-saudara kita di sini,
harus disegerakan, karena ada hak-hak atas mereka dalam diri kita yang harus
ditunaikan.”
Si
Gondrong menatapnya tajam.
“Tetapi
Islam mengajarkan kita, untuk berbuat maksimal. Di mana pun kita berada, itu
adalah bumi Allah, termasuk Palestina. Di sana sedang terjadi penjajahan biadab
puluhan tahun. Kita tak usah bicara Islam, bicara nilai-nilai kemanusiaan yang
Abang anggap lebih universal. Apakah kita akan menjadi bangsa yang bungkam atas
nasib bangsa lainnya? Bukankah Indonesia adalah negeri yang tak pernah
mentolerir penjajahan? Lagi pula, secara historis, ada warisan Islam, Masjid Al
Quds, tempat Nabi Muhammad SAW Isra-mi”raj yang sedang terancam hancur. Siapa
yang akan peduli? Lalu karena alasan Indonesia belum makmur, kita tak boleh
menengok nasib mereka? Sekadar mendoakan dari jauh pun tak mau? Lihat, dalam
kesengsaraan mereka warga Palestina masih setia membantu kita setiap kali
negeri kita dilanda bencana. Dan itu mereka lakukan sejak sebelum kita merdeka
dulu!”
Si
Gondrong diam, mengusap-usap pipinya.
“Ya, adik
benar,” suara orang yang tadi kuduga dosen.
Aku
mengusap mataku yang mulai berembun. Kulihat beberapa orang di sekitarku juga
tampak seperti disentakkan dan terenyuh.
“Saya
ingin menyumbang…,” kata seseorang. “Bisa lewat adik?”
“Tidak.
Tapi pergilah ke yayasan-yayasan Islam atau Bulan Sabit Merah Indonesia. Alhamdulillah, Allah
menggerakkan hati Bapak.”
Kereta
terus melaju. Berguncang-guncang. Melonjak keras. Seperti hatiku, setiap kali
mendengar kata-kata lelaki tak bernama itu.
“Oh ya,
ini memang tak seberapa, tetapi lumayan untuk berbuka puasa,” sekitar lima
menit sebelum adzan lelaki itu membagi-bagikan kurma pada para penghuni gerbong
yang mulai resah mencari-cari makanan.
“Silakan,
Dik,” ujarnya ramah padaku yang terbengong-bengong.
Ada sih
orang kayak gini?!
Aku sering
bertemu Si Kotak-kotak itu hingga aku lulus SMA dan diterima di Fakultas Ilmu
Budaya UI. Beberapa kali kutemukan ia tengah berada di UI. Apa ia juga kuliah
di sini? Aku tak bisa memastikannya. UI terlalu luas. Bahkan fakultas satu
dengan yang lain berjarak cukup jauh dan biasanya di tempuh dengan bis kuning,
meski masih satu lingkungan. Dan mahasiswanya…, banyak sekali. Aku sendiri
memasuki tingkat dua memutuskan untuk kos. Capek juga pulang balik naik bus
atau kereta tiap hari.
Akhir
semester lalu, aku masih ingat. Hari itu aku baru pulang ujian dan berniat
mampir di Kantin Kukusan, dekat tempat kos –untuk membeli nasi bungkus.
Tiba-tiba kudengar suara seseorang. Suara yang keras, tegas, berwibawa dan enak
didengar. Begitu kukenal. Ah, kutepiskan pikiranku dan masuk ke dalam kantin.
Di depan pintu aku terpaku.
Belasan
orang duduk tak teratur menghadap seseorang yang berdiri di sudut ruangan. Si
Mas Kotak-kotak tak bernama itu! Dan di sekitarnya… ya ampun, cowok semua!
Kecuali pelayan rumah makan yang juga sedang terbengong-bengong! Kutarik napas
panjang, dasar nasib, udah tahu markas cowok teknik, nekat juga. Ya, cueklah!
Namanya juga orang lapar!
“Namanya
Dr. Alexis Carrel. Ia peraih Nobel dalam bidang kedokteran tahun 1912, dan
direktur riset Rockfeller Foundation. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa
berdoa bisa menjadi sumber aktivitas terbesar bagi anggota tubuh kita. Sebagai
dokter, ia melihat kebiasaan berdoa bagaikan tambang radium yang menyalurkan
sinar dan melahirkan kekuatan diri.”
“O ya?
Begitu ya, Bang?” tanya seorang cowok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
diiringi decak kagum.
Aku masih
terpaku di pintu.
“Eh,
nasinya keburu dingin nanti! Ayo kita makan. Rasulullah saja tak pernah
membiarkan makanan menunggu lho!” ujar si kotak-kotak memecahkan suasana yang
sesaat hening.
“Eh iya,
Bang…memang sudah lapar kali ni,” ujar seseorang yang tepat berada di depan si
kotak-kotak dalam dialek Sumatera Utara.
“Tapi
jangan lupa, setiap kali kita bisa menjumpai makanan, selain bersyukur, kita
juga harus ingat saudara-saudara kita yang dhuafa di negeri ini…”
“Waaaah
tak bisa makan aku nanti, Bang,” seru si logat Sumatera Utara tadi.
“Para
tetangga terdekat kita…,” Si Kotak-kotak tersenyum. “Jangan sampai kita makan,
mereka tak makan….”
“Makin tak
bisa makanlah, Bang…,” lelaki di depan si Kotak-kotak itu kebingungan sendiri.
Cengengesan.
Si
Kotak-kotak tertawa. Dipegangnya pundak orang itu akrab, “Kita juga harus
makan, Dik. Sebab Allah lebih menyukai muslim yang kuat daripada yang lemah,”
kata lelaki tak bernama itu bijak. Dengan tubuh yang sehat, kemungkinan kita
menolong mereka lebih besar bukan?”
Hening.
Aku tercengang lagi. Wong cowok-cowok kantin di sini biasa
senengnya godain kita-kita sambil main gitar, terus sekarang memasang mimik
sedih?
“Mbak,
nasi sama semur dagingnya!” teriakku dari depan pintu. Maklum, perut sudah
melilit… ee si mbaknya asyik senyam-senyum sambil memandang Si Mas Kotak-kotak.
“Mbaaaaak!”
teriakku. “Nasi sama semur daging!”
Kontan
semua memandangku, termasuk Si Kotak-kotak.
Aku tergagap.
Masuk pelan-pelan. Segera mengambil nasi bungkusku dan berlari. Salah sendiri
masuk ke kandang macan, weeeeee!
“Apaan,
Mbak?” ulang si pelayan kantin Kukusan dengan suara keras.
“Ssssssst,
jangan teriak gitu dong! Saya cuma mau nanya. Mas yang kemarin makan di sini,
yang pakai baju kotak-kotak ungu muda itu namanya siapa?”
“Yang
ceramah? Yang bikin kantin saya laris?”
Aku
mengangguk cepat.
“Wah, saya
juga ndak tahu tuh, Mbak. Dia jarang kok makan di sini? Memangnya kenapa sih?
Situ naksir, ya?” berondongnya.
Aku
menghela napas dan segera berlalu.
“Sama
dong, Mbak! Kita juga naksir!” teriak si pelayan itu. “Saingan ni yeee!”
Aku
cemberut. Ember tuh orang! Siapa yang naksir? Emangnya kita cewek apaan. Sewot
betul aku! Aku kan cuma penasaran! Bayangkan! Sudah lama aku melihat Si
kotak-kotak itu berkeliaran…bahkan namanya saja aku tidak tahu! Wajar dong
penasaran!
Sekian
lama aku tak bertemu Si Mas Kotak-kotak. Kebetulan aku juga sibuk di kampus,
apalagi teman-teman di Forum Amal dan Studi Islam (FORMASI) benar-benar
melibatkanku dalam banyak kegiatan. Aku sendiri baru ikut kegiatan itu setahun
lalu. Apa ya, motivasinya? Yaaa, pengen jadi orang yang lebih baik aja…
sekaligus ingin lebih dalam lagi mengenal Islam dan umatnya di bumi ini
seperti… Mas Gagah dan…lelaki tak bernama itu. Ah, jujur. Secara tak langsung,
setelah Mas Gagah tiada, semangat untuk belajar Islam memang kembali kudapat
dari dia. Orang yang tak kukenal sama sekali!
“Gita,
jangan lupa lho…, total uang yang kuberikan padamu tiga juta rupiah. Lalu dua
puluh kardus mie instan, lima kardus baju bekas dan tiga karung beras!” suara
Tutut , sahabatku di jurusan, mengagetkanku.
“Iya,
aman!” Seruku sekenanya.
“Sip!”
Tutut tersenyum dan berlari meninggalkanku.
Lelaki
kotak-kotak tak bernama itu sekarang ada di mana ya? Semoga Allah selalu
memberi kekuatan padanya. Aku jadi ingat Tutut pernah cerita ada seorang teman
kakaknya yang sejak SMP dan SMA menjuarai berbagai lomba pidato sampai lomba
debat tingkat nasional. Sekarang dia sering memberikan ceramah dimana-mana
bahkan tanpa dibayar dan dipinta.
“Tempatnya
juga nggak lazim. Di bus, kereta, restoran, panti-panti, nggak jelas deh. Tapi
orangnya tulus dan rendah hati sekali.”
“Namanya,
Tut? Terus kuliahnya di mana? Dia suka pakai baju kotak-kotak ya?”
Tutut
mengernyitkan dahi. “Ada apa nih?” tanyanya nyengir. “Ayo, berhati-hatilah
dengan hatimu…,” katanya waktu itu sambil melirik penuh arti dan menghentikan
informasi.
Yaaa,
penonton kan kecewa. Tapi Tutut benar. Kenapa sih aku terlalu ingin tahu dengan
sosok misterius itu? Apakah karena sosok itu mengingatkanku pada…Mas Gagah?
“Gita, ayo
berangkat! Panggilin teman-teman yang lain!” teriak Eki dan beberapa kawan
membuyarkan lamunanku.
Yap. Aku
mengangguk dan segera berkemas.
Tak lama
aku dan anak-anak FORMASI sudah menuju daerah Tanah Tinggi untuk memberikan
bantuan bagi korban kebakaran besar di sana.
Setelah
sampai, kami semua dengan mengenakan jaket kuning segera mengeluarkan barang
bantuan dan disambut oleh beberapa pemuka warga dengan haru. Tangisku hampir
pecah melihat bayi dan balita tidur beralaskan tikar di atas reruntuhan rumah
mereka yang terbakar.
“Warga
yang lain kemana, Pak?” tanya Eki heran.
Aku
melihat sekeliling. Kok sepi ya….
“Iya nih,
lagi pada ngaji di bedeng. Ayo deh Bapak antar ke sana,” kata seorang bapak
ramah.
Kami semua
berjalan menuju sebuah bedeng triplek yang terkesan dibangun asal jadi.
“Ayo,
masuk, Nak!”
Di dalam
bedeng sekitar seratus orang lebih sedang mendengarkan ceramah. Aku duduk
perlahan, menatap ke depan dengan pandangan tak percaya.
“Jadi
musibah bisa jadi adalah ujian dari Allah atas keimanan kita. Di dalam hadis
dikatakan bahwa bila ada seseorang yang kena musibah, walau hanya tertusuk oleh
duri, niscaya dosanya akan dikurangi oleh Allah.”
Lelaki
dengan kemeja kotak-kotak itu terus bicara. Wajahnya teduh. Ya Allah, kenapa
orang ini senantiasa bersegera dalam kebajikan? Kenapa ia selalu hadir lebih
dulu? Kenapa ia begitu mirip? Wajahnya tak seganteng Mas Gagah. Bukan wajah
yang mirip…mungkin perangai…atau….
“Rasulullah
Saw berkata bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran. Karena itu meski kita
miskin harta, hendaknya tetap kaya iman. Jangan sampai sudah kita miskin di
dunia, banyak berbuat maksiat pula, hingga kelak melarat di akhirat. Na’udzubillahi
min dzalik.”
Kulihat
para warga serius mendengar. Sesekali mereka mengangguk-angguk.
“Demikian
dulu dari saya. Saya mohon maaf bila ada kata yang salah. Sesungguhnya
kebenaran itu dari dan milik Allah semata. Semoga Allah senantiasa meneguhkan
hati dan persaudaraan kita. Marilah kita saling mendoakan.”
Usai
mengucap doa dan salam lelaki itu bangkit.
“Tunggu!
Siapakah nama anak? Saya juga ingin mendoakan anak…,” kata seorang Ibu tua
tiba-tiba.
Aku
tersentak. Ya, siapakah namamu?
Lelaki itu
tersenyum. “Nama saya Abdullah, Bu. Saya bukan siapa-siapa dan saya pun akan
mendoakan semua yang ada di sini. Assalamu’alaikum.”
Pemuda itu
pun bergegas pergi setelah bersalaman dengan beberapa pemuka warga.
“Baiklah,
sekarang kita kedatangan adik-adik dari UI,” kata seorang bapak berpeci. Tepuk
tangan kembali bergema mengiringi kehadiran Eki dan kawan-kawan FORMASI di
hadapan warga.
Tetapi
mataku tertuju keluar. Memandang lelaki itu hingga ia menjelma titik kecil dan
menghilang di kejauhan.
Abdullah?
Betulkah itu namanya? Mas Gagah-ku yang muncul kembali?
bersambung ke bagian 3 ........