Kamis, 20 November 2014

KETIKA MAS GAGAH PERGI
(dan…Kembali)

III


Senja ini, aku memang berniat pulang ke rumah. Kangen sama Mama Papa. Di stasiun UI aku bersungut-sungut. Kereta api Jabotabek yang sejak tadi kutunggu, tak muncul juga. Eeeh, setelah satu jam menunggu akhirnya terdengar pengumuman: KRL tak dapat beroperasi karena listrik mati! Geregetan. Kontan aja aku putar arah. Jalan kaki ke Kober lalu menyambung naik bus.

Baru saja aku menginjakkan kaki ke atas bus, kulihat Si Mas Kotak-kotak duduk tepat di paling depan. Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencari bangku kosong. Sia-sia. Penuh semua!

“Silakan, Dik!” suara Si Kotak-kotak!

“Makasih, Mas Abdullah.” Ups, aku kelepasan! Sok akrab banget. Sepintas kulihat dia mengerutkan kening.
O…o!

Aku menunggu-nunggu lelaki ini bicara seperti biasa. Tetapi ia tampak tenang-tenang. Hanya sesekali badannya limbung karena Pak Sopir kerap mengerem mendadak. Sampai di Lenteng Agung, kulihat lelaki itu pindah ke depan.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” sapanya. Dan kemudian seperti hari-hari kemarin kudengar dan kucermati kata-katanya.

Fii ahsani taqwim. Artinya Allah menciptakan kita dengan sebaik-baik bentuk. Anda merasa pesek, jereng, tonggos, jerawatan, hitam legam? Merasa jelek? Tak perlu demikian. Percayalah anda harus tetap bersyukur karena itu sebaik-baik bentuk Anda. Amalan anda yang akan membuat Anda lebih ganteng dan cantik, terutama di hadapanNya. Dan sebaik baik manusia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Jadi sudahkah kita bersyukur atas keberadaan kita hari ini?”

Orang-orang di bus memandang lelaki ini serius sambil manggut-manggut, beberapa cengengesan. Aku juga. Lelaki itu terus bicara diiringi deru kendaraan.

“Mari sama-sama arif memandang apapun,” ujar lelaki itu lagi. Cobalah memandang sesuatu tidak hanya dari sudut pandang Anda, tetapi dari sudut pandang orang lain dan Tuhan.”

“Sudut pandang Tuhan seperti apa itu?” celutuk seorang Bapak.

“Apa yang tertulis di kitab suci, diriwayatkan hadis dan dicatat oleh nurani kita, insya Allah,” katanya sambil tersenyum.

Tanpa terasa bus yang kami naiki sudah memasuki Pasar Minggu. Tiba-tiba jalan bus terhenti, di hadang kerumunan pelajar putih abu-abu! Mereka berteriak-teriak Ada yang mengacung-acungkan pisau, golok, rantai, clurit juga… samurai! Tubuhku langsung lemas.

Aku dan para penumpang lain serba salah. Turun atau bertahan di bus? Bisa-bisa kami kena batu nyasar!
Jantungku berdebar cepat! Ya ampun, mana nih pak polisi! Aksi para pelajar itu brutal sekali! Mereka saling lempar dan saling baku hantam!

PRANNNGGG! PRANNNGGG!

Kaca jendela yang berada tepat dibelakangku pecah porak-poranda. Seorang Ibu mengaduh memegangi pelipisnya yang berdarah!

“Serbuuuuuuuuuu! E… eh…, mau kemana lu! Jangan lari! Bangsattt!”  

Ya Allah, seorang pelajar dengan tubuh berdarah naik ke atas bus ini. Aku bingung harus bagaimana. Pelajar itu mencari-cari tempat sembunyi.

“Hei! Gila! Kenapa naik ke sini? Bisa-bisa kami yang jadi sasaran!” teriak seorang bapak panik. Sementara seorang wanita memeluk bayinya erat-erat.

“Sa… ya bisa… mati… kalau… tu… run…,” kata pelajar itu lemah.

Si Mas Kotak-kotak segera memapah anak itu bersembunyi di antara bangku.

Eh, mane die?! Hajarr! Bunuhh!

“Pak, jalanin bisnya!” teriak seorang Ibu panik.

“Nggak bisa, Bu! Mereka bergerombol di depan!” bentak Pak Sopir tak kalah panik.

DUG! DUG!
PRANGGGG! PRRANNGG!

Segerombolan pelajar naik ke dalam bus membawa berbagai senjata. Pengecut! Beraninya ramai-ramai! Sungguh aku ingin meludahi anak-anak tengil ini!

Mane tuh anak?! Periksa-periksa!” teriak mereka.

Seluruh penumpang bergidik.

“Adik cari siapa?” Suara penuh kesejukan itu bergetar.

“Minggir lu! Jangan ngalangin gue kalo nggak mau mampus!”

Lelaki dengan kemeja kotak-kotak hijau itu beristighfar.

Nie die, Coy! Gue temuiin! Ni die!”

“Hajarrrr! Tusuk!”

Para pelajar itu maju dan… aku serasa tak berpijak di bumi… mereka membacoknya! Seluruh penumpang histeris!

“Tahan! Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh saudara sendiriii…?”

CRESH….

“Aaaaa!” aku terkejut.

Lelaki berbaju kotak-kotak…, Mas Abdullah jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya. “A…dikku…, bagai…mana…kali…an bisa… berbuat… begi…ni,” gumamnya pedih.

Aku bangkit dari tempat duduk dan berteriak histeris. “Polisiiii! Polisiiii! Paaaak, cepat kemariiiii!” teriakku.

Para remaja itu berhamburan keluar bus setelah mereka merampas tas Mas Abdullah. Salah satunya, yang paling tengil sempat kutendang dari belakang!

“To…long…, tolong mereka…,” kataku memelas pada para penumpang.

“Tunggu… polisi!” teriak seseorang ketakutan.

“Polisi belum datang! Tadi saya pura-pura!” teriakku panik.

“Cepat keluarkan mereka!” Suara seseorang.

Aku menoleh. Seorang pemuda bergegas ke arahku dan membantu membopong Mas Abdullah dan anak sekolah yang terluka itu. Aku seperti mengenalnya….

“Kamu….”

“Saya Manto, Mbak…,”ujar pemuda itu.

Kuhirup napas dalam-dalam. Aku merasa pernah melihatnya. Tapi itu tak penting. Yang paling penting adalah segera menolong Mas Abdullah dan pelajar itu. “Saya Gita,” tukasku. Lalu aku, pemuda itu dan dua lelaki separuh baya turun mencari bantuan.

Jalanan mulai sepi. Hanya batu-batu, ceceran darah dan pecahan kaca di sekitar. Dari jauh kudengar sirine polisi. Kuhentikan dua buah taksi.
 
Ayo, Pak! Masukkan mereka!” teriakku pada yang membopong.

“Saya nggak megang uang, Neng!”

Kukeluarkan dompetku. “Saya yang bayar! Rumah sakit terdekat, Pak!” aku masuk ke dalam taksi. Sementara si pemuda rapi tadi di taksi yang lain bersama pelajar yang terluka itu. “Biar mbak, saya ada uang untuk bayar taksi,” katanya.

Barulah aku menyadari, pemuda rapi itu adalah pria yang waktu itu tertangkap tangan Mas Abdullah sedang mencopet handphone di miniarta.

“Ia membantu saya berubah…,” katanya seperti tahu pertanyaanku.

Subhanallah. Tak ada waktu. Kami bergegas.

Taksi melaju. Kudengar lelaki yang entah mengapa kini kuanggap saudaraku itu berzikir satu-satu.

“Tahan ya, Mas. Insya Allah, kita segera ke rumah sakit!” Tiba-tiba bayangan Mas Gagah melintas di hadapanku. Apakah nyeri seperti ini yang ia rasakan dulu? Mengapa orang baik yang selalu menjadi korban? Aku menggigil.

Sesampainya di RS, kedua korban segera dimasukkan ke UGD. Aku resah menunggu, juga bingung. Ketika petugas menanyakan nama Si Mas Kotak-kotak, aku cuma sebut Abdullah.

“Identitasnya ada, Mbak?”

“Saya juga nggak kenal, Bu. Tadi tasnya diambil pelajar-pelajar brengsek itu!” tegasku. Kasihan Mas Kotak-kotak. Malah dia belum sadar….

Aku mencari pemuda rapi tadi. Di mana dia?

“Suster lihat pemuda yang bersama saya tadi membawa korban?”

“Iya mbak, tapi ia tadi terburu-buru, katanya sudah terlambat ke tempat kerja. Ia menitipkan ini pada mbak.
Mbak, maaf saya buru-buru. Sumpah, saya sudah tidak jadi pencopet lagi. Lewat dia saya dapat hidayah. Semoga Allah melindungiNya. Besok insya Allah saya ke sini lagi. Manto.

“Adik yang tadi dalam bis?”

Aku terperanjat. Polisi….

Aku mengangguk. “Ya, saya Gita.”

“Ikut ke kantor kami untuk memberi keterangan.”


Dua hari aku bolak-balik kampus-kantor polisi. Diantaranya untuk menjadi saksi siapa pelaku penusukan. Demi kebenaran, aku menurut. Pelaku penusukan yang berwajah bengis itu pun sudah diamankan.
Dan hari ini, ketika aku kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk, aku terperanjat.

“Sudah meninggal kemarin, Mbak….”

“Apa?”

“Pelajar yang kena tusuk sudah meninggal.”

“Saya nanya yang satu lagi, yang masuknya bareng sama pelajar itu!”

Sang suster mengangguk-angguk. “Ooo, baru setengah jam yang lalu dijemput keluarganya dan pemuda yang kemarin bersama mbak kemari. Lukanya tidak terlalu parah. Ia juga berpesan untuk menyampaikan terimakasih kepada mbak yang sudah menolongnya.”

Aku mengangguk dan menggigit bibir. Tanpa terasa buliran bening menetes membasahi pipiku. “Terimakasih, Suster,” ujarku pelan. “Terimakasih Allah, ia tak pergi secepat Mas Gagah….”


Begitulah ceritanya. Hari, minggu, bulan, tahun berganti. Aku tak pernah bertemu lagi dengan lelaki itu. Setiap hari, saat pulang dan pergi dengan bus atau kereta api, entah mengapa aku berharap bisa bertemu atau sekadar melihat sosoknya seperti dulu. Tapi ia tak ada. Ia seperti menghilang begitu saja, meninggalkan aku yang tak tahu kemana harus mencarinya. Dan ini adalah rasa kehilangan keduaku yang besar, setelah kepergian Mas Gagah.

Sebenarnya aku bertekad, bila aku bisa bertemu dengannya sekali lagi, aku akan memberanikan diri menyapanya. Aku akan bercerita tentang Mas Gagah, tentang kepeduliannya pada sekitar sebagaimana lelaki tak bernama itu. Aku bahkan berencana mengenalkan merekapada Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep dan adik-adik di kolong jembatan yang dulu dibina Mas Gagah.

“Memang orangnya kayak Gagah, Mbak?” Tanya Bang Ucok, saat kami bersama-sama membenahi buku-buku koleksi taman bacaan.

Bang Urip menatapku ingin tahu. Di depan taman bacaan mungil ini, adik-adik kecil sibuk membuat layang-layang untuk dijual.

Aku tercenung. “Mungkin wajahnya nggak ya, Bang. Tapi apa yang dia lakukan, kepeduliannya…entahlah. Gita merasa dekat saja dengannya. Gita merasa spirit yang sama dalam dirinya seperti spirit dalam diri Mas Gagah.”

Bang Urip dan Bang Ucok garuk-garuk kepala. “Jadi pengin kenalan,” kata Bang Ucok. Bang Urip dan Kang Asep mengangguk.

“Suatu saat Gita akan ajak ia kemari, Bang, insya Allah.”

“Iya, tak ada lagi yang mengajar kami mengaji sejak Gagah tidak ada,” ujar Bang Ucok.

“Ya iye, pada takut dipalak duluan. Lewat sini aje mereka kagak berani,” tambah Bang Urip. “Ye, emangnye mereka Si Gagah? Ketahuan die sinpai karate. Kita palak, malah dulu kite nyang babak belur, trus malah diajak ngaji. Waktu kite ude kagak mabok, kagak main judi, kagak malak orang, trus jadi orang yang peduli ame lingkungan kite, Gagah bilang kite itu: preman insap! Kate Gagah dulu sahabat Nabi juga banyak nyang preman. Pas insap mereka langsung istiqomah!”

“Ah, emang lo inget artinya istiqomah?” serobot Kang Asep.

“Kayaknya konsisten, persisten, resisten!”

“Apa artinya itu, memang kau ingat? Sok anak kuliah kau kali kau!”

Bang Urip garuk-garuk kepala, “Ya kagak sih. Gue ingat belakangnye ten semua. Ah udeh nyang penting teguh maju jalan lurus terus! Istiqomah ntu gitu kate si Gagah!”

“Preman insaaaap!” seru Bang Ucok.

Bang Urip dan Kang Asep langsung berdiri tegak, menyusul Bang Ucok: “Huh huh huh huh: istiqomah!” mereka lompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, seperti tentara yang paling bersemangat. Seperti dulu saat masih bersama Mas Gagah. Tak jauh di belakang mereka, anak-anak rumah baca juga melompat-lompat melakukan hal yang sama.

Aku tersenyum. Mereka masih terus mengingat Mas Gagah dan masih sering bercerita tentangnya, seperti aku berharap setiap kali masih bisa menemukan sosoknya di rumah sepulang dari kuliah.

“Mbak Gita sekarang tambah ayu ya?”

“Iya, lebih kalem…”

Celutuk beberapa anak tiba-tiba, sambil mencuri-curi pandang ke arahku.

Sudah senja. Kupeluk mereka dan segera pulang. “Nanti Mbak Gita bawakan lagi buku yang banyak, insya Allah!” janjiku.


Lama setelah itu aku belum juga kembali bertemu dengan Si Kemeja Kotak-kotak.
 
Kini aku sudah lebih rapi dalam berjilbab. Tutut yang paling girang sampai sujud syukur segala melihat aku bertekad untuk tak lagi pakai baju ketat atau kerudung terawang. Alhamdulillah. Tetapi kalau mau jujur, Mas Kotak-kotak itu punya andil dalam keislamanku, meski aku lebih teguh berjilbab bukan karena dia, melainkan karena Allah semata.

Dan kini, tak terasa aku sudah tamat kuliah. Aku juga ingin bisa segera bekerja, seperti teman-temanku yang lain. Bisa bermanfaat bagi orang banyak, bukan sekadar mencari uang.

“Kenapa sih tidak kerja di perusahaan Papa saja?” tanya Papa.

Aku hanya mencium kening beliau dan berkata, “Gita mau berusaha mandiri dulu….”

Untunglah Papa mau mengerti dan senang melihat anaknya selalu berusaha mandiri. “Kamu akan jadi perempuan yang kuat, Gita Ayu Pratiwi,” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahuku.

Dan hari ini aku cukup deg-degan.

Sebuah perusahaan elektronik membutuhkan tenaga marketing yang menguasai bahasa Inggris. Aku mencoba melamar. Namanya juga usaha. Kemarin aku sudah dipanggil untuk wawancara. Ya, siapa tahu diterima meski kurang pengalaman, kan?

“Mbak Gita?”

Aku mengangguk.

“Mbak diminta langsung menghadap Direktur kami!” ujar resepsionis di hadapanku.

Aku berdiri, dengan perasaan tak menentu “Direktur?” tanyaku. “Bukan ke HRD lagi yang mbak?”

“Iya, data mbak sudah dipelajari oleh HRD kami. Wawancara oleh HRD juga sudah kan kemarin. Ini wawancara berikutnya, Mbak.”

“Wawancara lagi?” aku tak mengerti.

“Pak Yudhistira minta Mbak langsung menghadapnya.”

“Oh,” kutepis rasa heranku.

“Silakan, Mbak,” seorang perempuan lain yang kukira sekretaris menemaniku menuju ruang direktur.
Penuh rasa optimis aku melangkah. “Selamat pagi,” sapaku biasa, saat melangkah masuk.

Seorang lelaki dengan kemeja kotak-kotak menjawab salamku.

Aku terperangah!

Dia juga!

Kubaca nama yang terpampang di mejanya: Yudhistira Arifin, Ph.D -Direktur.

“Gita Ayu Pratiwi?“

Aku mengangguk.

“Saya merasa pernah melihat Anda. Di mana ya?” tanyanya tiba-tiba.

Suaraku tercekat di kerongkongan. “ Dalam…ng… bus…, Pak….?

Dia mengangguk. Tersenyum, berdiri, merapikan jas di bahu bangkunya. “Mungkin di UI karena saya juga lulusan sana…,” ujarnya simpatik. “Atau dalam bus dan kereta api?” ia tertawa. “Barangkali malah di rumah sakit?”

Aku tersenyum, namun bingung.

“Anda tahu mengapa Anda saya panggil kemari?”

Aku menggeleng.

“Pertama, karena Anda gadis itu. Gadis yang membawa saya ke Rumah Sakit…bertahun lalu saat peristiwa tawuran pelajar itu….”

Aku tercengang.

“Gita….subhanallah….”

Aku mengangguk, “Saya, Pak.”

“Keluar dari rumah sakit , saya diberitahu nama orang yang menolong saya. Gita. Tak mungkin saya lupa…,”katanya lagi. “Maaf, sesudah pemulihan, saya kesulitan menghubungi anda. Rumah sakit juga tidak menyimpan data Anda. Saya kemudian mendapat beasiswa kuliah di Perancis. Jadi…saya belum mengucapkan terimakasih….”

Hening.

Tiba-tiba sekretaris yang tadi mengantarku, masuk kembali sambil membawa beberapa map. “Pak, ada undangan mengisi ceramah dari Departemen Keuangan, beberapa hotel berbintang dan dari universitas di Jerman serta Australia,”

Departemen Keuangan? Hotel berbintang? Universitas di Jerman dan Australia? Hebat sekali! Batinku. 

“Jadi, kualifikasi Anda cocok dengan yang kami butuhkan. Selamat, Gita! Anda kami terima!”

“Alhamdulillah,” kataku. “Terimakasih, Pak.”

“Kembali,” katanya ringan. “Oh ya, Gita, sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas pertolongan Anda. Hanya Allah yang mampu membalasnya. Ah kalau saja Anda tidak membawa saya ke rumah sakit waktu itu, tentu saya tak akan ada di sini sekarang….”

“Dan mungkin saja saya tidak akan diterima bekerja di sini…,” candaku. “ Ya, sama-sama, Pak….”

Ia tertawa.

“Panggil saya Yudi saja. Anda mulai bekerja besok. Silakan pelajari berkas-berkas ini….”

Aku mengangguk.

“Tolong panggil OB kita ya,” katanya pada sekretarisnya kemudian.

Aku baru akan beranjak, saat seseorang masuk. Wajah yang pernah kulihat lagi!

“Ini Manto,” ujarnya. “OB kita yang hebat. Manto yang mengingatkan saya akan nama Anda.”

Manto mengangguk, “Mbak Gita….”

Aku ternganga: pemuda rapi yang dulu pernah ia tangkap saat mencopet dulu! Yang juga membantuku menolong pelajar itu!

“Setelah menasehati saya dulu, Pak Yudi mengajak saya ke sanggar milik temannya. Kami belajar ngaji sambil membuat kerajinan tangan. Setelah lama tak bertemu, setahun lalu, Pak Yudi mengajak saya bekerja di sini.”

“Manto rajin dan jujur, jadi Gita bisa minta tolong apa saja padanya,” Pak Yudi tersenyum. Aku juga.Subhanallah.

Sorenya, setelah makan bakso di sekitar (calon) kantorku, aku naik ke Trans Jakarta tujuan Rawamangun.
Aku baru saja akan membuka berkas-berkas yang diberikan Mas Abdul eh…Pak Yudi…, ketika satu sosok yang kukenal naik ke dalam bus sambil tersenyum.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh….”

Aku melongo. Nyaris tak percaya.

“Nak Yudi!” Seru seorang bapak. “Senang bisa mendengar Anda lagi!”

“Ya, perjalanan panjang seakan tak berarti bersama Dik Yudi!” seru penumpang lain.

Pak Supir tertawa. Penumpang yang lain tersenyum senang.

Aku ternganga. Dan seperti dulu, dengan gaya khasnya, ia berbicara dan orang-orang mendengarkan.

“Apakah hakikat sabar itu, Saudaraku? Apa hakikat cinta di tengah masyarakat kita yang kini sudah semakin tak peduli? Mau mendengar cerita tentang cinta dan sabar? Tentang bagaimana kita harus berjabat hati dalam membangun negeri ini?”

Semua mengangguk tanpa sadar. Aku juga.

Dan seperti tahun-tahun lalu pula… kata-katanya begitu menyentuh dan berpengaruh, mengingatkanku pada sosok yang seperti terus berada dalam rinduku….

“Ajari saya… Islam. Saya mau… mengaji, Nak,” bisik seorang Ibu berwajah Chinese yang duduk tepat di sampingku, saat Yudi baru saja menyudahi ceramahnya.

Aku haru.

Dari balik kacamatanya, kulihat mata lelaki berkemeja kotak-kotak rapi itu berkaca-kaca. Selalu, seperti dulu, saat pertama kali aku menatapnya.

Angin tak ada, dibungkam AC bus Trans Jakarta, namun semilirnya menyelusup dalam batinku. Sejuk. Lelaki itu mengangguk padaku, tersenyum lama.
Dalam senja yang temaram, dari balik jendela busway, kulihat Mas Gagah di antara kerumunan orang yang menunggu bus. Wajahnya cerah.

Dan jadilah muslimah sejati
yang selalu mengedepankan nurani
Agar Allah selalu besertamu.

Ingat Islam itu indah…
Islam itu cinta…


  

Helvy Tiana Rosa
(Jakarta-Depok, 1993-2011)


Sumber : masgagah.com