(dan…Kembali)
III
Senja ini,
aku memang berniat pulang ke rumah. Kangen sama Mama Papa. Di stasiun UI aku bersungut-sungut.
Kereta api Jabotabek yang sejak tadi kutunggu, tak muncul juga. Eeeh, setelah
satu jam menunggu akhirnya terdengar pengumuman: KRL tak dapat beroperasi
karena listrik mati! Geregetan. Kontan aja aku putar arah. Jalan kaki ke Kober
lalu menyambung naik bus.
Baru saja
aku menginjakkan kaki ke atas bus, kulihat Si Mas Kotak-kotak duduk tepat di
paling depan. Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencari bangku kosong. Sia-sia.
Penuh semua!
“Silakan,
Dik!” suara Si Kotak-kotak!
“Makasih,
Mas Abdullah.” Ups, aku kelepasan! Sok akrab banget. Sepintas kulihat dia
mengerutkan kening.
O…o!
Aku
menunggu-nunggu lelaki ini bicara seperti biasa. Tetapi ia tampak
tenang-tenang. Hanya sesekali badannya limbung karena Pak Sopir kerap mengerem
mendadak. Sampai di Lenteng Agung, kulihat lelaki itu pindah ke depan.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.” sapanya. Dan kemudian seperti hari-hari
kemarin kudengar dan kucermati kata-katanya.
“Fii
ahsani taqwim. Artinya Allah menciptakan kita dengan sebaik-baik bentuk.
Anda merasa pesek, jereng, tonggos, jerawatan, hitam legam? Merasa jelek? Tak
perlu demikian. Percayalah anda harus tetap bersyukur karena itu sebaik-baik
bentuk Anda. Amalan anda yang akan membuat Anda lebih ganteng dan cantik,
terutama di hadapanNya. Dan sebaik baik manusia di sisi Allah adalah yang
paling bertakwa. Jadi sudahkah kita bersyukur atas keberadaan kita hari ini?”
Orang-orang
di bus memandang lelaki ini serius sambil manggut-manggut, beberapa
cengengesan. Aku juga. Lelaki itu terus bicara diiringi deru kendaraan.
“Mari
sama-sama arif memandang apapun,” ujar lelaki itu lagi. Cobalah memandang
sesuatu tidak hanya dari sudut pandang Anda, tetapi dari sudut pandang orang
lain dan Tuhan.”
“Sudut
pandang Tuhan seperti apa itu?” celutuk seorang Bapak.
“Apa yang
tertulis di kitab suci, diriwayatkan hadis dan dicatat oleh nurani kita, insya
Allah,” katanya sambil tersenyum.
Tanpa
terasa bus yang kami naiki sudah memasuki Pasar Minggu. Tiba-tiba jalan bus
terhenti, di hadang kerumunan pelajar putih abu-abu! Mereka berteriak-teriak
Ada yang mengacung-acungkan pisau, golok, rantai, clurit juga… samurai! Tubuhku
langsung lemas.
Aku dan
para penumpang lain serba salah. Turun atau bertahan di bus? Bisa-bisa kami
kena batu nyasar!
Jantungku
berdebar cepat! Ya ampun, mana nih pak polisi! Aksi para pelajar itu brutal
sekali! Mereka saling lempar dan saling baku hantam!
PRANNNGGG!
PRANNNGGG!
Kaca
jendela yang berada tepat dibelakangku pecah porak-poranda. Seorang Ibu
mengaduh memegangi pelipisnya yang berdarah!
“Serbuuuuuuuuuu!
E… eh…, mau kemana lu! Jangan lari! Bangsattt!”
Ya Allah,
seorang pelajar dengan tubuh berdarah naik ke atas bus ini. Aku bingung harus
bagaimana. Pelajar itu mencari-cari tempat sembunyi.
“Hei!
Gila! Kenapa naik ke sini? Bisa-bisa kami yang jadi sasaran!” teriak seorang
bapak panik. Sementara seorang wanita memeluk bayinya erat-erat.
“Sa… ya
bisa… mati… kalau… tu… run…,” kata pelajar itu lemah.
Si Mas
Kotak-kotak segera memapah anak itu bersembunyi di antara bangku.
“Eh,
mane die?! Hajarr! Bunuhh!
“Pak, jalanin bisnya!”
teriak seorang Ibu panik.
“Nggak
bisa, Bu! Mereka bergerombol di depan!” bentak Pak Sopir tak kalah panik.
DUG! DUG!
PRANGGGG!
PRRANNGG!
Segerombolan
pelajar naik ke dalam bus membawa berbagai senjata. Pengecut! Beraninya
ramai-ramai! Sungguh aku ingin meludahi anak-anak tengil ini!
“Mane
tuh anak?! Periksa-periksa!” teriak mereka.
Seluruh
penumpang bergidik.
“Adik cari
siapa?” Suara penuh kesejukan itu bergetar.
“Minggir
lu! Jangan ngalangin gue kalo nggak mau mampus!”
Lelaki
dengan kemeja kotak-kotak hijau itu beristighfar.
“Nie
die, Coy! Gue temuiin! Ni die!”
“Hajarrrr!
Tusuk!”
Para
pelajar itu maju dan… aku serasa tak berpijak di bumi… mereka membacoknya!
Seluruh penumpang histeris!
“Tahan!
Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh saudara sendiriii…?”
CRESH….
“Aaaaa!”
aku terkejut.
Lelaki
berbaju kotak-kotak…, Mas Abdullah jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya.
“A…dikku…, bagai…mana…kali…an bisa… berbuat… begi…ni,” gumamnya pedih.
Aku bangkit
dari tempat duduk dan berteriak histeris. “Polisiiii! Polisiiii! Paaaak, cepat
kemariiiii!” teriakku.
Para
remaja itu berhamburan keluar bus setelah mereka merampas tas Mas Abdullah.
Salah satunya, yang paling tengil sempat kutendang dari belakang!
“To…long…,
tolong mereka…,” kataku memelas pada para penumpang.
“Tunggu…
polisi!” teriak seseorang ketakutan.
“Polisi
belum datang! Tadi saya pura-pura!” teriakku panik.
“Cepat
keluarkan mereka!” Suara seseorang.
Aku
menoleh. Seorang pemuda bergegas ke arahku dan membantu membopong Mas Abdullah
dan anak sekolah yang terluka itu. Aku seperti mengenalnya….
“Kamu….”
“Saya
Manto, Mbak…,”ujar pemuda itu.
Kuhirup
napas dalam-dalam. Aku merasa pernah melihatnya. Tapi itu tak penting. Yang
paling penting adalah segera menolong Mas Abdullah dan pelajar itu. “Saya
Gita,” tukasku. Lalu aku, pemuda itu dan dua lelaki separuh baya turun mencari
bantuan.
Jalanan
mulai sepi. Hanya batu-batu, ceceran darah dan pecahan kaca di sekitar. Dari
jauh kudengar sirine polisi. Kuhentikan
dua buah taksi.
Ayo, Pak!
Masukkan mereka!” teriakku pada yang membopong.
“Saya nggak
megang uang, Neng!”
Kukeluarkan
dompetku. “Saya yang bayar! Rumah sakit terdekat, Pak!” aku masuk ke dalam
taksi. Sementara si pemuda rapi tadi di taksi yang lain bersama pelajar yang
terluka itu. “Biar mbak, saya ada uang untuk bayar taksi,” katanya.
Barulah
aku menyadari, pemuda rapi itu adalah pria yang waktu itu tertangkap tangan Mas
Abdullah sedang mencopet handphone di miniarta.
“Ia
membantu saya berubah…,” katanya seperti tahu pertanyaanku.
Subhanallah.
Tak ada waktu. Kami bergegas.
Taksi
melaju. Kudengar lelaki yang entah mengapa kini kuanggap saudaraku itu berzikir
satu-satu.
“Tahan ya,
Mas. Insya Allah, kita segera ke rumah sakit!” Tiba-tiba bayangan Mas Gagah
melintas di hadapanku. Apakah nyeri seperti ini yang ia rasakan dulu? Mengapa
orang baik yang selalu menjadi korban? Aku menggigil.
Sesampainya
di RS, kedua korban segera dimasukkan ke UGD. Aku resah menunggu, juga bingung.
Ketika petugas menanyakan nama Si Mas Kotak-kotak, aku cuma sebut Abdullah.
“Identitasnya
ada, Mbak?”
“Saya juga
nggak kenal, Bu. Tadi tasnya diambil pelajar-pelajar brengsek itu!” tegasku.
Kasihan Mas Kotak-kotak. Malah dia belum sadar….
Aku
mencari pemuda rapi tadi. Di mana dia?
“Suster
lihat pemuda yang bersama saya tadi membawa korban?”
“Iya mbak,
tapi ia tadi terburu-buru, katanya sudah terlambat ke tempat kerja. Ia
menitipkan ini pada mbak.
Mbak, maaf
saya buru-buru. Sumpah, saya sudah tidak jadi pencopet lagi. Lewat dia saya dapat
hidayah. Semoga Allah melindungiNya. Besok insya Allah saya ke sini lagi.
Manto.
“Adik yang
tadi dalam bis?”
Aku
terperanjat. Polisi….
Aku
mengangguk. “Ya, saya Gita.”
“Ikut ke
kantor kami untuk memberi keterangan.”
Dua hari
aku bolak-balik kampus-kantor polisi. Diantaranya untuk menjadi saksi siapa
pelaku penusukan. Demi kebenaran, aku menurut. Pelaku penusukan yang berwajah
bengis itu pun sudah diamankan.
Dan hari
ini, ketika aku kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk, aku terperanjat.
“Sudah
meninggal kemarin, Mbak….”
“Apa?”
“Pelajar
yang kena tusuk sudah meninggal.”
Sang
suster mengangguk-angguk. “Ooo, baru setengah jam yang lalu dijemput
keluarganya dan pemuda yang kemarin bersama mbak kemari. Lukanya tidak terlalu
parah. Ia juga berpesan untuk menyampaikan terimakasih kepada mbak yang sudah
menolongnya.”
Aku
mengangguk dan menggigit bibir. Tanpa terasa buliran bening menetes membasahi
pipiku. “Terimakasih, Suster,” ujarku pelan. “Terimakasih Allah, ia tak pergi
secepat Mas Gagah….”
Begitulah
ceritanya. Hari, minggu, bulan, tahun berganti. Aku tak pernah bertemu lagi
dengan lelaki itu. Setiap hari, saat pulang dan pergi dengan bus atau kereta
api, entah mengapa aku berharap bisa bertemu atau sekadar melihat sosoknya
seperti dulu. Tapi ia tak ada. Ia seperti menghilang begitu saja, meninggalkan
aku yang tak tahu kemana harus mencarinya. Dan ini adalah rasa kehilangan
keduaku yang besar, setelah kepergian Mas Gagah.
Sebenarnya
aku bertekad, bila aku bisa bertemu dengannya sekali lagi, aku akan
memberanikan diri menyapanya. Aku akan bercerita tentang Mas Gagah, tentang
kepeduliannya pada sekitar sebagaimana lelaki tak bernama itu. Aku bahkan
berencana mengenalkan merekapada Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep dan adik-adik
di kolong jembatan yang dulu dibina Mas Gagah.
“Memang
orangnya kayak Gagah, Mbak?” Tanya Bang Ucok, saat kami bersama-sama membenahi
buku-buku koleksi taman bacaan.
Bang Urip
menatapku ingin tahu. Di depan taman bacaan mungil ini, adik-adik kecil sibuk
membuat layang-layang untuk dijual.
Aku
tercenung. “Mungkin wajahnya nggak ya, Bang. Tapi apa yang dia lakukan,
kepeduliannya…entahlah. Gita merasa dekat saja dengannya. Gita merasa spirit
yang sama dalam dirinya seperti spirit dalam diri Mas Gagah.”
Bang Urip
dan Bang Ucok garuk-garuk kepala. “Jadi pengin kenalan,” kata Bang Ucok. Bang
Urip dan Kang Asep mengangguk.
“Suatu
saat Gita akan ajak ia kemari, Bang, insya Allah.”
“Iya, tak
ada lagi yang mengajar kami mengaji sejak Gagah tidak ada,” ujar Bang Ucok.
“Ya iye,
pada takut dipalak duluan. Lewat sini aje mereka kagak berani,” tambah Bang
Urip. “Ye, emangnye mereka Si Gagah? Ketahuan die sinpai karate.
Kita palak, malah dulu kite nyang babak belur, trus malah diajak ngaji. Waktu
kite ude kagak mabok, kagak main judi, kagak malak orang, trus jadi orang yang
peduli ame lingkungan kite, Gagah bilang kite itu: preman insap! Kate Gagah
dulu sahabat Nabi juga banyak nyang preman. Pas insap mereka langsung istiqomah!”
“Ah, emang
lo inget artinya istiqomah?” serobot Kang Asep.
“Kayaknya
konsisten, persisten, resisten!”
“Apa
artinya itu, memang kau ingat? Sok anak kuliah kau kali kau!”
Bang Urip
garuk-garuk kepala, “Ya kagak sih. Gue ingat belakangnye ten semua. Ah udeh
nyang penting teguh maju jalan lurus terus! Istiqomah ntu gitu kate si Gagah!”
“Preman
insaaaap!” seru Bang Ucok.
Bang Urip
dan Kang Asep langsung berdiri tegak, menyusul Bang Ucok: “Huh huh huh huh:
istiqomah!” mereka lompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, seperti
tentara yang paling bersemangat. Seperti dulu saat masih bersama Mas Gagah. Tak
jauh di belakang mereka, anak-anak rumah baca juga melompat-lompat melakukan
hal yang sama.
Aku
tersenyum. Mereka masih terus mengingat Mas Gagah dan masih sering bercerita
tentangnya, seperti aku berharap setiap kali masih bisa menemukan sosoknya di
rumah sepulang dari kuliah.
“Mbak Gita
sekarang tambah ayu ya?”
“Iya,
lebih kalem…”
Celutuk
beberapa anak tiba-tiba, sambil mencuri-curi pandang ke arahku.
Sudah
senja. Kupeluk mereka dan segera pulang. “Nanti Mbak Gita bawakan lagi buku
yang banyak, insya Allah!” janjiku.
Lama
setelah itu aku belum juga kembali bertemu dengan Si Kemeja Kotak-kotak.
Kini aku
sudah lebih rapi dalam berjilbab. Tutut yang paling girang sampai sujud syukur
segala melihat aku bertekad untuk tak lagi pakai baju ketat atau kerudung
terawang. Alhamdulillah. Tetapi kalau mau jujur, Mas Kotak-kotak
itu punya andil dalam keislamanku, meski aku lebih teguh berjilbab bukan karena
dia, melainkan karena Allah semata.
Dan kini,
tak terasa aku sudah tamat kuliah. Aku juga ingin bisa segera bekerja, seperti
teman-temanku yang lain. Bisa bermanfaat bagi orang banyak, bukan sekadar
mencari uang.
“Kenapa
sih tidak kerja di perusahaan Papa saja?” tanya Papa.
Aku hanya
mencium kening beliau dan berkata, “Gita mau berusaha mandiri dulu….”
Untunglah
Papa mau mengerti dan senang melihat anaknya selalu berusaha mandiri. “Kamu
akan jadi perempuan yang kuat, Gita Ayu Pratiwi,” ujarnya sambil menepuk-nepuk
bahuku.
Dan hari
ini aku cukup deg-degan.
Sebuah
perusahaan elektronik membutuhkan tenaga marketing yang
menguasai bahasa Inggris. Aku mencoba melamar. Namanya juga usaha. Kemarin aku
sudah dipanggil untuk wawancara. Ya, siapa tahu diterima meski kurang
pengalaman, kan?
“Mbak
Gita?”
Aku
mengangguk.
“Mbak
diminta langsung menghadap Direktur kami!” ujar resepsionis di hadapanku.
Aku
berdiri, dengan perasaan tak menentu “Direktur?” tanyaku. “Bukan ke HRD lagi
yang mbak?”
“Iya, data
mbak sudah dipelajari oleh HRD kami. Wawancara oleh HRD juga sudah kan kemarin.
Ini wawancara berikutnya, Mbak.”
“Wawancara
lagi?” aku tak mengerti.
“Pak
Yudhistira minta Mbak langsung menghadapnya.”
“Oh,”
kutepis rasa heranku.
“Silakan,
Mbak,” seorang perempuan lain yang kukira sekretaris menemaniku menuju ruang
direktur.
Penuh rasa
optimis aku melangkah. “Selamat pagi,” sapaku biasa, saat melangkah masuk.
Seorang
lelaki dengan kemeja kotak-kotak menjawab salamku.
Aku
terperangah!
Dia juga!
Kubaca
nama yang terpampang di mejanya: Yudhistira Arifin, Ph.D -Direktur.
“Gita Ayu
Pratiwi?“
Aku
mengangguk.
“Saya
merasa pernah melihat Anda. Di mana ya?” tanyanya tiba-tiba.
Suaraku
tercekat di kerongkongan. “ Dalam…ng… bus…, Pak….?”
Dia
mengangguk. Tersenyum, berdiri, merapikan jas di bahu bangkunya. “Mungkin di UI
karena saya juga lulusan sana…,” ujarnya simpatik. “Atau dalam bus dan kereta
api?” ia tertawa. “Barangkali malah di rumah sakit?”
Aku
tersenyum, namun bingung.
“Anda tahu
mengapa Anda saya panggil kemari?”
Aku
menggeleng.
“Pertama,
karena Anda gadis itu. Gadis yang membawa saya ke Rumah Sakit…bertahun lalu
saat peristiwa tawuran pelajar itu….”
Aku
tercengang.
“Gita….subhanallah….”
Aku
mengangguk, “Saya, Pak.”
“Keluar
dari rumah sakit , saya diberitahu nama orang yang menolong saya. Gita. Tak
mungkin saya lupa…,”katanya lagi. “Maaf, sesudah pemulihan, saya kesulitan
menghubungi anda. Rumah sakit juga tidak menyimpan data Anda. Saya kemudian
mendapat beasiswa kuliah di Perancis. Jadi…saya belum mengucapkan
terimakasih….”
Hening.
Tiba-tiba
sekretaris yang tadi mengantarku, masuk kembali sambil membawa beberapa map.
“Pak, ada undangan mengisi ceramah dari Departemen Keuangan, beberapa hotel
berbintang dan dari universitas di Jerman serta Australia,”
Departemen
Keuangan? Hotel berbintang? Universitas di Jerman dan Australia? Hebat sekali!
Batinku.
“Jadi,
kualifikasi Anda cocok dengan yang kami butuhkan. Selamat, Gita! Anda kami
terima!”
“Alhamdulillah,”
kataku. “Terimakasih, Pak.”
“Kembali,”
katanya ringan. “Oh ya, Gita, sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas
pertolongan Anda. Hanya Allah yang mampu membalasnya. Ah kalau saja Anda tidak
membawa saya ke rumah sakit waktu itu, tentu saya tak akan ada di sini
sekarang….”
“Dan
mungkin saja saya tidak akan diterima bekerja di sini…,” candaku. “ Ya,
sama-sama, Pak….”
Ia
tertawa.
“Panggil
saya Yudi saja. Anda mulai bekerja besok. Silakan pelajari berkas-berkas ini….”
Aku
mengangguk.
“Tolong
panggil OB kita ya,” katanya pada sekretarisnya kemudian.
Aku baru
akan beranjak, saat seseorang masuk. Wajah yang pernah kulihat lagi!
“Ini
Manto,” ujarnya. “OB kita yang hebat. Manto yang mengingatkan saya akan nama
Anda.”
Manto
mengangguk, “Mbak Gita….”
Aku
ternganga: pemuda rapi yang dulu pernah ia tangkap saat mencopet dulu! Yang
juga membantuku menolong pelajar itu!
“Setelah
menasehati saya dulu, Pak Yudi mengajak saya ke sanggar milik temannya. Kami
belajar ngaji sambil membuat kerajinan tangan. Setelah lama tak bertemu,
setahun lalu, Pak Yudi mengajak saya bekerja di sini.”
“Manto
rajin dan jujur, jadi Gita bisa minta tolong apa saja padanya,” Pak Yudi
tersenyum. Aku juga.Subhanallah.
Sorenya,
setelah makan bakso di sekitar (calon) kantorku, aku naik ke Trans Jakarta
tujuan Rawamangun.
Aku baru
saja akan membuka berkas-berkas yang diberikan Mas Abdul eh…Pak Yudi…, ketika
satu sosok yang kukenal naik ke dalam bus sambil tersenyum.
“Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh….”
Aku
melongo. Nyaris tak percaya.
“Nak
Yudi!” Seru seorang bapak. “Senang bisa mendengar Anda lagi!”
“Ya,
perjalanan panjang seakan tak berarti bersama Dik Yudi!” seru penumpang lain.
Pak Supir
tertawa. Penumpang yang lain tersenyum senang.
Aku
ternganga. Dan seperti dulu, dengan gaya khasnya, ia berbicara dan orang-orang
mendengarkan.
“Apakah
hakikat sabar itu, Saudaraku? Apa hakikat cinta di tengah masyarakat kita yang
kini sudah semakin tak peduli? Mau mendengar cerita tentang cinta dan sabar?
Tentang bagaimana kita harus berjabat hati dalam membangun negeri ini?”
Semua
mengangguk tanpa sadar. Aku juga.
Dan
seperti tahun-tahun lalu pula… kata-katanya begitu menyentuh dan berpengaruh,
mengingatkanku pada sosok yang seperti terus berada dalam rinduku….
“Ajari
saya… Islam. Saya mau… mengaji, Nak,” bisik seorang Ibu berwajah Chinese yang
duduk tepat di sampingku, saat Yudi baru saja menyudahi ceramahnya.
Aku haru.
Dari balik
kacamatanya, kulihat mata lelaki berkemeja kotak-kotak rapi itu berkaca-kaca.
Selalu, seperti dulu, saat pertama kali aku menatapnya.
Angin tak
ada, dibungkam AC bus Trans Jakarta, namun semilirnya menyelusup dalam batinku.
Sejuk. Lelaki itu mengangguk padaku, tersenyum lama.
Dalam
senja yang temaram, dari balik jendela busway, kulihat Mas Gagah di
antara kerumunan orang yang menunggu bus. Wajahnya cerah.
Dan
jadilah muslimah sejati
yang
selalu mengedepankan nurani
Agar Allah
selalu besertamu.
Ingat
Islam itu indah…
Islam itu
cinta…
Helvy Tiana Rosa
(Jakarta-Depok,
1993-2011)