Jumat, 04 Mei 2012

FENOMENA CULTURE SHOCK


           Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut “gegar budaya”, adalah istilah psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan oleh seorang sosiolog bernama Kalervo Oberg di akhir tahun 1960.  Ia mendefinisikan culture shock sebagai “penyakit” yang diderita oleh individu yang hidup di luar lingkungan kulturnya.). Istilah ini mengandung pengertian, adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara kultur maupun sosial baru. Oberg menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan symbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relative lama.


           Program internasional yang dibuka oleh beberapa sekolah di dunia membuka kemungkinkan adanya siswa-siswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk belajar bersama-sama di tempat yang mereka datangi. Di Indonesia sendiri, semakin banyak dibuka sekolah internasional yang memungkinkan diterimanya pelajar dari negara lain untuk belajar di Indonesia. Demikian juga, tak kalah banyak, masyarakat Indonesia yang memilih untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah di luar negri yang mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan budaya baru. Dengan kata lain, Kerjasama yang diadakan oleh Pemerintah, seperti Pertukaran Pelajar ataupun pemberian Beasiswa ke luar negeri menjadi salah satu penyebab Akulturasi Kebudayaan.

      Sebagai contohnya adalah sarapan pagi. Di Indonesia, sarapan pagi bagi kebanyakan orang Indonesia adalah menggunakan nasi, sehingga mereka akan merasa belum kenyang apabila belum merasakan nasi di lambung mereka ketika sarapan pagi. Namun berbeda bagi orang luar negeri, misalkan Amerika Serikat. Mereka setiap sarapan pagi hanya menggunakan roti dan susu. Hingga suatu saat ketika orang dari kedua negara ini bertemu, mereka akan mengalami gegar budaya karena mereka harus sarapan dengan makanan yang tidak biasa mereka santap di pagi hari. Orang Indonesia akan kesulitan dan merasa kurang kenyang apabila makan roti, namun sebaliknya, orang Amerika akan merasa sangat kekenyangan apabila mereka makan nasi sebagai menu sarapan paginya karena kandungan karbohidratnya yang berlebihan.
           
            Contoh lainnya adalah ketika orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, mereka akan sangat merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Perasaan kaget yang timbul terhadap pasangan homogen tersebut di karenakan di Indonesia sendiri, komunitas marginal lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak dianggap suatu perbuatan memalukan. 
           
             Namun lepas dari konteks globalisasi pendidikan di atas, sebenarnya antar suku di Indonesia sendiri memungkinkan penduduk Indonesia untuk diharuskan belajar budaya baru saat mereka keluar dari tempat tinggalnya, mengingat begitu berbedanya budaya satu dan budaya lainnya di Indonesia. Dalam hal ini, konteks bercampurnya siswa-siswi dari budaya yang berbeda yang terjadi di Indonesia bisa dikatakan bukanlah hal yang baru. Mengingat begitu beragamnya budaya di Indonesia, maka potensi untuk terjadinya Culture Shock di antara para penduduk yang tinggal di tempat baru di Indonesia juga akan semakin besar.
           
               Cultural Shock tak hanya terjadi saat kita harus menyesuaikan diri ketika berada di negeri orang, namun juga pada ranah keseharian. Karena ini menyangkut akan kebiasaan dan sosialisasi pada tata cara, kebiasaan dan budaya. Gegar budaya ini juga terjadi saat pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas. Reaksi pun timbul, akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Ujungnya, tak jarang menimbulkan malapetaka bagi masyarakat itu sendiri. Misalnya, terjadi tabung gas bocor hingga meledak. Inilah salah satu contoh kecil dengan apa yang disebut cultural shock.
           
              Contoh lain dari Cultural Shock ini dapat kita lihat ketika awal tahun 1990-an lalu, masyarakat dihebohkan oleh pemutraran film kartun dan sinetron tiga dimensi di RCTI. Agar bisa menyaksikannya, mereka harus memakai kacamata tiga dimensi. Masyarakat berbondong-bondong menyerbu toko buku untuk mendapatkannya, meski harganya untuk kacamata yang framenya dari kertas karton dan kacanya dari film itu- luar biasa mahal. Makin dekat waktu pemutaran film kartun dan sinetron tersebut, makin naik pula harganya. Padahal kegunaan kacamata itu tak begitu berarti. Karena, menonton tanpa kacamata tersebut juga tak jauh beda.

        Hal serupa dapat kita saksikan ketika blackberry mewabah. Lihatlah betapa mabuknya masyarakat saat itu. Biar keren, orang-orang berbondong-bondong punya Blackberry. Tak peduli apakah bisa atau tidak mengoperasikannya, yang penting punya. Mereka juga tak pikir panjang, apakah punya e-mail atau tidak, bahkan tak peduli lagi apakah Riset in Motion, selaku produsen Blackberry, memiliki kantor perwakilan di Indonesia atau tidak. Bahkan bagi mereka dengan ekonomi rendah tidak ikut ketinggalan dengan memburu ponsel mirip Blackberry yang harganya jauh lebih terjangkau daripada ponsel Blackberry original.

        Fenomena Gegar Budaya ini terjadi hampir di semua bidang. Untuk media sosial, gegar budaya yang sempat terjadi adalah Friendster, Facebook dan Twitter.

              Facebook adalah sebuah layanan jejaring sosial dan situs web diluncurkan pada Februari 2004 yang dioperasikan dan dimiliki oleh Facebook, Inc. Pada Januari 2011, Facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif. Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg bersama teman sekamarnya dan sesama mahasiswa ilmu komputer Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes.  Keanggotaan situs web ini awalnya terbatas untuk mahasiswa harvard saja, kemudian diperluas ke perguruan lain di Boston, Ivy League, dan Universitas Stanford. Situs ini secara perlahan membuka diri kepada mahasiswa di universitas lain sebelum dibuka untuk siswa sekolah menengah atas dan akhirnya untuk setiap orang yang berusia minimal 13 tahun.

          Studi Compete.com bulan Januari 2009 menempatkan Facebook sebagai layanan jejaring sosial paling banyak digunakan menurut pengguna aktif bulanan di seluruh dunia. Untuk media sosial, eksistensi Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi. Hingga saat ini Indonesia adalah negara dengan peringkat kedua pengguna Facebook terbanyak dengan lebih dari 36 juta user , yang tercatat dalam situs socialbakers.com. Peringkat pertamanya tentu saja diduduki oleh Amerika Serikat.

          Sejak dibentuk pada tahun 2006 oleh Jack Dorsey, Twitter telah mendapatkan popularitas di seluruh dunia dan saat ini memiliki lebih dari 100 juta pengguna. Semua pengguna dapat mengirim dan menerima kicauan melalui situs Twitter, aplikasi eksternal yang kompatibel (telepon seluler) atau dengan pesan singkat (SMS) yang tersedia di negara-negara tertentu. Situs ini berbasis di San Bruno, California dekat San Francisco, di mana situs ini pertama kali dibuat. 

              Pada media sosial Twitter, Indonesia juga termasuk salah satu negara yang banyak mendapat sorotan. Memang hampir tidak ada catatan resmi tentang peringkat negara dengan user terbanyak, karena pihak Twitter sendiri terlihat sangat tertutup dengan masalah ini. Tapi, banyak dan aktifnya user Twitter di Indonesia terbukti dengan seringnya Indonesia masuk ke dalam “Trending Topic”. Memang fenomena Twitter di Indonesia belum seperti Facebook. Namun trend penggunaan jejaring sosial ini di Indonesia masih sangat berpotensi untuk berkembang karena dalam siklus gegar budaya, penggunaan Twitter ini masih berada pada tahap awal.  

             Siklus Gegar Budaya ini sendiri di mulai ketika segelintir orang menemukan suatu hal yang unik dan menggunakannya sehingga mereka terlihat berbeda dan menonjol dibandingkan orang lain pada umumnya. Mereka melakukan gebrakan untuk mendobrak hal-hal umum yang sudah menjadi kebiasaan. Seperti kita ketahui beberapa waktu yang lalu, ketika Sepeda Fixie menjadi  “Booming” di setiap kalangan baik itu remaja maupun orang dewasa. Mereka berbondong-bondong memburu sepeda tersebut. Soal harga siapa yang perduli, ketika trend menjadi suatu gaya hidup mereka mencari cara untuk mendapatkannya, membeli jadi maupun merakitnya sendiri tidak masalah. Tidak hanya itu, kini banyak bermunculan club-club fixie hampir di setiap kota di Indonesia. Perilaku suka meniru seperti ini membuat orang-orang menjadi lupa akan sepeda khas Indonesia sendiri yakni Sepeda Ontel !!

         Asal muasal Sepeda Fixie sendiri adalah sepeda yang digunakan kaum pengantar pos/koran/majalah, yang biasa dikenal dengan kurir di wilayah Amerika sana, persisnya di New York. Mereka mengalami masalah lead time pada saat mendeliver paket mereka karena kondisi kota New York yang begitu padat. Makanya mereka memilih sepeda sebagai altrernative dan hasilnya memuaskan dengan lead time delivery berkurang dan pengiriman yang jauh lebih cepat. Bisa dibilang, para penggila fixie adalah loper koran masaa yang eye cathing, hmm!!

          Tak di pungkiri bahwa Gegar Budaya sudah menjadi kebiasaan di Masyarakat. Menurut saya sendiri hal tersebut memang di pengaruhi oleh Globalisasi yang terjadi di era saat ini. Seiring berjalannya waktu, sesuatu yang awalnya menjadi aneh ataupun berbeda pada akhirnya mulai diterima oleh masyarakat. Akibatnya, makin banyak orang yang penasaran dan tertarik untuk ikut mencoba hal tersebut. Tentu dengan diiringi harapan bahwa mereka akan ikut  terlihat keren. Ketika booming, hal yang tadinya dianggap aneh dan berbeda akhirnya berubah menjadi trend yang diikuti semua orang. Lalu semuanya mulai terbagi menjadi 2 kategori. Yang ‘normal’ karena menggunakannya dengan wajar dan yang ‘alay’ karena hanya sekedar ikut-ikutan.

         Gegar budaya juga mempengaruhi siklus kehidupan dalam bermasyarakat. Masuknya budaya Punk merupakan contoh nyata saat ini. Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Sejak tahun 1980-an, punk merajalela di Amerika. Punk dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir pada awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.

         Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal. Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.

            Saat ini beberapa komunitas punk telah menyebar di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarka dan Malang. Mereka merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro. CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi's, Adidas, Nike, Calvin Klein dan barang bermerek luar negeri lainnya. Walaupun masih banyak anak-anak punk di luar sana yang kehidupannya sangat memprihatinkan.

              Sesungguhnya fenomena Gegar Budaya tidak hanya di pandang sebagai suatu hal yang negatif, namun sebaliknya. Dengan berkembangnya teknologi dan masuknya budaya luar ke Indonesia seharusnya dapat memberikan gambaran yang positif, dimana kita dapat lebih mengenal, menggunakan dan memperluas pemahaman kita mengenai budaya tersebut. Yang perlu di tekankan adalah bagaimana suatu kebudayaaan baru dapat di filter dengan baik. Namun kenyataannya konflik sosial yang terjadi, banyak orang tidak mengerti dan hanya menjadikan fenomena Geger Budaya ini sebagai daya saing dalam gaya hidup mereka. Perasaan ingin “Lebih” dari yang lain inilah dapat menjurus pada fanatisme.

Manusia adalah mahluk yang paling bisa menyesuaikan diri pada hal-hal yang baru. Pernyataan ini mungkin dapat menjelaskan fenomena di bawah ini .

         Mungkin anda pun sering atau sudah terbiasa berada di tempat tersebut, berlama-lama menikmatinya dan pergi beramai-ramai mengajak teman, saudara atau orang terrdekat bagi anda. Makanan siap saji yang biasa dapat ditemukan di Amerika Serikat terdiri dari kentang goreng, hamburger (atau menu utama lainnya) dan minuman ringan, kini sudah merambah Indonesia.

           Mc' Donalds, rantai makanan siap saji terbesar di dunia dan merek yang paling sering dihubungkan dengan istilah "makanan siap saji", didirikan sebagai sebuah restoran drive-in barbecue pada 1940 oleh Richard. J dan Maurice McDonald. Setelah menyadari bahwa keuntungan terbesar mereka berasal dari hamburger, kedua saudara ini menutup restoran mereka selama tiga bulan dan membukanya kembali pada 1948 sebagai sebuah stan dengan menu sederhana berupa hamburger, kentang goreng, milk shake. kopi dan cola-cola, yang dilayankan dalam bungkusan kertas yang langsung dibuang. Hasilnya, mereka dapat memproduksi hamburger dan kentang goreng terus-menerus, tanpa menunggu pesanan pelanggan dan menyajikannya dengan segera. Hingga sekarang makanan siap saji ini dapat di temukan hampir di seluruh kota di dunia. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Amerika Serikat bahwa tingkat obesitas di negara mereka adalah yang tertinggi dibandingkan negara lain, salah satu penyebabnya adalah perilaku konsumtif masyarakat terhadap makanan siap saji. Mengerikan !!!

Lain makanan siap saji, lain halnya dengan Fenomena yang satu ini.

        Hingga hari  ini, masih adakah yang belum mengenal apa itu pizza? Pasti jawabannya sudah tidak ada yang belum mengenalnya, sekalipun mungkin belum tentu sudah mencicipinya. Pizza lahir sebagai peluang usaha dalam urusan makanan, seperti sejak sejarah pizza itu sendiri dimulai. Pada abad ke-16 di kawasan Timur Tengah dan Mediterania, sebuah makanan dalam loyang yang berbumbu namun tidak dianggap di kalangan raja waktu itu diidentifikasikan sebagai pizza pada hari-hari kemudiannya. Waktu itu makanan seperti ini beredar di kalangan rakyat, yaitu sebuah flatbread atau makanan yang  datar dari dalam loyang dan berisi taburan irisan bumbu-bumbuan. Waktu itu makanan ini masih dipandang sebelah mata. Kemudian pada abad ke-17, masyarakat memakan flatbread tersebut bersama saus merah di atasnya dan banyak yang menyukainya. Seiring waktu, setelah orang-orang Eropa melakukan kontak dengan Amerika, flatbread kemudian dimakan bersama minyak dan tomat. Bahkan, pada tahun 1889, sekelompok koki menciptakan flatbread yang dihiasi dengan tomat, keju, mozzarella dan kemangi dengan tampilan desain bendera Italia dan disuguhkan untuk Ratu Italia, Margherita of Savoy. Pada awal abad ke-20, flatbread yang kemudian dikenal dengan pizza tersebut telah dihiasi dengan keju di atasnya. Semakin tahun, kreasi toping semakin lebih baik saja, menambah cita rasa dan performance pizza menemukan hati para pelanggannya.

       Peluang usaha pizza ternyata benar-benar mampu meningkatkan finansial pengusahanya, sehingga banyak Outlet-outlet pizza berkembang hingga ke Indonesia, walau masih sebagian masyarakat Indonesia tidak terlalu familiar dengan rasanya. Hingga saat ini perkembangan kuliner di Indonesia semakin hari semakin tersaingi oleh maraknya Gegar Budaya yang terjadi. Contoh di atas hanya sebagian kecil yang terjadi di Indonesia, jika di kaji lebih dalam, kita dapat menemukan pengaruh yang lebih luas mengenai fenomena-fenomena Gegar Budaya lainnya.

             Berbicara mengenai Culture Shock, mungkin tidak akan pernah habis-habisnya. Seluruh aspek kehidupan sudah sangat terpengaruhi akan hal tersebut. Sebagai kaum intelektual kita patut lebih kritis menanggapi Perubahan. Tidak semua hal yang baru itu baik ataupun buruk. Kita harus cermat melihat dampak perubahan tersebut dalam masyarakat. Walau hingga hari ini kita masih melihat bahwa masyarakat ternyata lebih terpengaruh pada aspek konsumerisme teknologi semata atau hanya sekedar gaya. Jadi, masyarakat kita masih sekedar menjadi pemakai saja bukan lebih berperan aktif dalam perkembangan. Bisa di katakan demam Konvergensi Kebudayaan sudah melanda Indonesia, salah satunya adalah “Culture Shock”.


Sumber :
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar