Culture shock
atau dalam bahasa Indonesia disebut “gegar budaya”, adalah istilah psikologis
untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi
lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali
dikenalkan oleh seorang sosiolog bernama Kalervo Oberg di akhir tahun 1960.
Ia mendefinisikan culture
shock sebagai “penyakit” yang
diderita oleh individu yang hidup di luar lingkungan kulturnya.). Istilah ini
mengandung pengertian, adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan tidak
tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan
sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu
lingkungan yang secara kultur maupun sosial baru. Oberg menjelaskan hal itu
dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan symbol-simbol yang selama
ini dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal
dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relative lama.
Program internasional yang dibuka oleh beberapa sekolah di dunia membuka
kemungkinkan adanya siswa-siswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk belajar
bersama-sama di tempat yang mereka datangi. Di Indonesia sendiri, semakin
banyak dibuka sekolah internasional yang memungkinkan diterimanya pelajar dari
negara lain untuk belajar di Indonesia. Demikian juga, tak kalah banyak,
masyarakat Indonesia yang memilih untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk
bersekolah di luar negri yang mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan
budaya baru. Dengan kata lain,
Kerjasama yang diadakan oleh Pemerintah, seperti Pertukaran Pelajar ataupun
pemberian Beasiswa ke luar negeri menjadi salah satu penyebab Akulturasi
Kebudayaan.
Sebagai contohnya adalah sarapan pagi.
Di Indonesia, sarapan pagi bagi kebanyakan orang Indonesia adalah menggunakan
nasi, sehingga mereka akan merasa belum kenyang apabila belum merasakan nasi di
lambung mereka ketika sarapan pagi. Namun berbeda bagi orang luar negeri, misalkan
Amerika Serikat. Mereka setiap sarapan pagi hanya menggunakan roti dan susu.
Hingga suatu saat ketika orang dari kedua negara ini bertemu, mereka akan
mengalami gegar budaya karena mereka harus sarapan dengan makanan yang tidak
biasa mereka santap di pagi hari. Orang Indonesia akan kesulitan dan merasa
kurang kenyang apabila makan roti, namun sebaliknya, orang Amerika akan merasa
sangat kekenyangan apabila mereka makan nasi sebagai menu sarapan paginya
karena kandungan karbohidratnya yang berlebihan.
Contoh lainnya adalah ketika orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, mereka akan sangat merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para
lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Perasaan kaget yang timbul terhadap pasangan
homogen tersebut di
karenakan di Indonesia sendiri, komunitas
marginal lebih tertutup dan
mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di Indonesia. Sementara di
Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah independen dan
bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak dianggap suatu
perbuatan memalukan.
Namun lepas dari konteks globalisasi pendidikan di atas, sebenarnya antar suku
di Indonesia sendiri memungkinkan penduduk Indonesia untuk diharuskan belajar
budaya baru saat mereka keluar dari tempat tinggalnya, mengingat begitu
berbedanya budaya satu dan budaya lainnya di Indonesia. Dalam hal ini, konteks
bercampurnya siswa-siswi dari budaya yang berbeda yang terjadi di Indonesia
bisa dikatakan bukanlah hal yang baru. Mengingat begitu beragamnya budaya di
Indonesia, maka potensi untuk terjadinya Culture
Shock di antara para penduduk
yang tinggal di tempat baru di Indonesia juga akan semakin besar.
Cultural Shock tak hanya terjadi saat kita harus menyesuaikan diri ketika
berada di negeri orang, namun juga pada ranah keseharian. Karena ini menyangkut
akan kebiasaan dan sosialisasi pada tata cara, kebiasaan dan budaya. Gegar
budaya ini juga terjadi saat pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas.
Reaksi pun timbul, akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Ujungnya, tak
jarang menimbulkan malapetaka bagi masyarakat itu sendiri. Misalnya, terjadi
tabung gas bocor hingga meledak. Inilah salah satu contoh kecil dengan apa yang
disebut cultural shock.
Contoh lain dari Cultural Shock ini dapat kita lihat ketika awal tahun 1990-an
lalu, masyarakat dihebohkan oleh pemutraran film kartun dan sinetron tiga
dimensi di RCTI. Agar bisa menyaksikannya, mereka harus memakai kacamata tiga
dimensi. Masyarakat berbondong-bondong menyerbu toko buku untuk mendapatkannya,
meski harganya untuk kacamata yang framenya dari kertas karton dan kacanya dari
film itu- luar biasa mahal. Makin dekat waktu pemutaran film kartun dan
sinetron tersebut, makin naik pula harganya. Padahal kegunaan kacamata itu tak
begitu berarti. Karena, menonton tanpa kacamata tersebut juga tak jauh beda.
Hal serupa dapat kita saksikan ketika blackberry mewabah. Lihatlah betapa
mabuknya masyarakat saat itu. Biar keren, orang-orang berbondong-bondong punya
Blackberry. Tak peduli apakah bisa atau tidak mengoperasikannya, yang penting
punya. Mereka juga tak pikir panjang, apakah punya e-mail atau tidak, bahkan
tak peduli lagi apakah Riset in Motion, selaku produsen Blackberry, memiliki
kantor perwakilan di Indonesia atau tidak. Bahkan bagi mereka dengan ekonomi rendah tidak ikut ketinggalan dengan
memburu ponsel mirip Blackberry yang
harganya jauh lebih terjangkau daripada ponsel Blackberry original.
Fenomena Gegar Budaya ini terjadi
hampir di semua bidang. Untuk media sosial, gegar budaya yang sempat terjadi
adalah Friendster, Facebook dan Twitter.
Facebook adalah sebuah layanan
jejaring sosial dan situs web
diluncurkan pada Februari 2004 yang dioperasikan dan dimiliki oleh Facebook,
Inc. Pada Januari 2011, Facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif.
Facebook didirikan oleh Mark
Zuckerberg bersama teman
sekamarnya dan sesama mahasiswa ilmu komputer Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes. Keanggotaan situs web
ini awalnya terbatas untuk mahasiswa harvard saja, kemudian diperluas ke perguruan
lain di Boston, Ivy League, dan Universitas Stanford. Situs ini secara
perlahan membuka diri kepada mahasiswa di universitas lain sebelum dibuka untuk
siswa sekolah menengah atas dan akhirnya untuk setiap orang yang berusia
minimal 13 tahun.
Studi Compete.com bulan Januari 2009 menempatkan
Facebook sebagai layanan jejaring
sosial paling banyak digunakan menurut pengguna aktif bulanan di seluruh dunia. Untuk media sosial, eksistensi
Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi. Hingga saat ini Indonesia adalah
negara dengan peringkat kedua pengguna Facebook terbanyak dengan lebih dari 36
juta user , yang tercatat dalam situs socialbakers.com. Peringkat pertamanya
tentu saja diduduki oleh Amerika Serikat.
Sejak dibentuk pada tahun 2006 oleh Jack Dorsey, Twitter telah mendapatkan
popularitas di seluruh dunia dan saat ini memiliki lebih dari 100 juta
pengguna. Semua pengguna dapat mengirim dan menerima kicauan melalui situs
Twitter, aplikasi eksternal yang kompatibel (telepon seluler) atau dengan pesan
singkat (SMS) yang tersedia di negara-negara tertentu. Situs ini berbasis di
San Bruno, California dekat San Francisco, di mana situs ini pertama kali
dibuat.
Pada media sosial Twitter, Indonesia juga termasuk salah satu negara yang
banyak mendapat sorotan. Memang hampir tidak ada catatan resmi tentang
peringkat negara dengan user terbanyak, karena pihak Twitter sendiri terlihat
sangat tertutup dengan masalah ini. Tapi, banyak dan aktifnya user Twitter di
Indonesia terbukti dengan seringnya Indonesia masuk ke dalam “Trending Topic”.
Memang fenomena Twitter di Indonesia belum seperti Facebook. Namun trend
penggunaan jejaring sosial ini di Indonesia masih sangat berpotensi untuk
berkembang karena dalam siklus gegar budaya, penggunaan Twitter ini masih
berada pada tahap awal.
Siklus Gegar Budaya ini sendiri di mulai ketika segelintir orang menemukan
suatu hal yang unik dan menggunakannya sehingga mereka terlihat berbeda dan
menonjol dibandingkan orang lain pada umumnya. Mereka melakukan gebrakan untuk
mendobrak hal-hal umum yang sudah menjadi kebiasaan. Seperti kita ketahui
beberapa waktu yang lalu, ketika Sepeda Fixie menjadi “Booming” di setiap
kalangan baik itu remaja maupun orang dewasa. Mereka berbondong-bondong memburu
sepeda tersebut. Soal harga siapa yang perduli, ketika trend menjadi suatu gaya
hidup mereka mencari cara untuk mendapatkannya, membeli jadi maupun merakitnya
sendiri tidak masalah. Tidak hanya itu, kini banyak bermunculan club-club fixie
hampir di setiap kota di Indonesia. Perilaku suka meniru seperti ini membuat
orang-orang menjadi lupa akan sepeda khas Indonesia sendiri yakni Sepeda Ontel
!!
Asal muasal Sepeda Fixie sendiri adalah sepeda yang digunakan kaum pengantar
pos/koran/majalah, yang biasa dikenal dengan kurir di wilayah Amerika sana,
persisnya di New York. Mereka mengalami masalah lead time pada saat mendeliver
paket mereka karena kondisi kota New York yang begitu padat. Makanya mereka
memilih sepeda sebagai altrernative dan hasilnya memuaskan dengan lead time
delivery berkurang dan pengiriman yang jauh lebih cepat. Bisa dibilang, para
penggila fixie adalah loper koran masaa yang eye cathing, hmm!!
Tak di pungkiri bahwa Gegar Budaya
sudah menjadi kebiasaan di Masyarakat. Menurut saya sendiri hal tersebut memang
di pengaruhi oleh Globalisasi yang terjadi di era saat ini. Seiring berjalannya waktu, sesuatu
yang awalnya menjadi aneh ataupun berbeda pada akhirnya mulai diterima oleh
masyarakat. Akibatnya, makin banyak orang yang penasaran dan tertarik untuk
ikut mencoba hal tersebut. Tentu dengan diiringi harapan bahwa mereka akan ikut
terlihat keren. Ketika booming, hal yang tadinya dianggap aneh dan berbeda
akhirnya berubah menjadi trend yang diikuti semua orang. Lalu semuanya mulai
terbagi menjadi 2 kategori. Yang ‘normal’ karena menggunakannya dengan wajar
dan yang ‘alay’ karena hanya sekedar ikut-ikutan.
Gegar budaya juga mempengaruhi siklus kehidupan dalam bermasyarakat. Masuknya
budaya Punk merupakan contoh nyata saat ini. Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Sejak tahun 1980-an, punk merajalela di Amerika. Punk dapat berarti jenis
musik atau genre yang lahir pada
awal tahun 1970-an. Punk juga
bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.
Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera
merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh
kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan
kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya
sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun
kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue
sniffer dan perusuh karena
di Inggris pernah terjadi
wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang
tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari
mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal. Punk
lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka
perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut
dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike,
jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti
sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga
banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak
untuk disebut sebagai punker.
Saat ini beberapa komunitas punk telah menyebar di kota-kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Bandung,
Yogyakarka dan Malang. Mereka merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas.
Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran
sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi
semacam toko kecil yang lazim disebut distro.
CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga
memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster,
serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas
dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro
adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi's, Adidas, Nike, Calvin Klein dan barang bermerek luar negeri
lainnya. Walaupun masih banyak anak-anak punk di luar sana yang kehidupannya
sangat memprihatinkan.
Sesungguhnya fenomena Gegar Budaya tidak hanya di pandang sebagai suatu hal
yang negatif, namun sebaliknya. Dengan berkembangnya teknologi dan masuknya
budaya luar ke Indonesia seharusnya dapat memberikan gambaran yang positif,
dimana kita dapat lebih mengenal, menggunakan dan memperluas pemahaman kita
mengenai budaya tersebut. Yang perlu di tekankan adalah bagaimana suatu
kebudayaaan baru dapat di filter dengan baik. Namun kenyataannya konflik sosial
yang terjadi, banyak orang tidak mengerti dan hanya menjadikan fenomena Geger
Budaya ini sebagai daya saing dalam gaya hidup mereka. Perasaan ingin “Lebih”
dari yang lain inilah dapat menjurus pada fanatisme.
Manusia adalah mahluk yang paling bisa menyesuaikan diri pada
hal-hal yang baru. Pernyataan ini
mungkin dapat menjelaskan fenomena di bawah ini .
Mungkin anda pun sering atau sudah terbiasa berada di tempat tersebut,
berlama-lama menikmatinya dan pergi beramai-ramai mengajak teman, saudara atau
orang terrdekat bagi anda. Makanan siap saji yang biasa dapat ditemukan di Amerika Serikat terdiri dari kentang goreng, hamburger
(atau menu utama lainnya) dan minuman ringan, kini sudah merambah Indonesia.
Mc' Donalds, rantai makanan siap saji
terbesar di dunia dan merek yang paling sering dihubungkan dengan istilah
"makanan siap saji", didirikan sebagai sebuah restoran drive-in
barbecue pada 1940 oleh Richard. J dan Maurice McDonald.
Setelah menyadari bahwa keuntungan terbesar mereka berasal dari hamburger,
kedua saudara ini menutup restoran mereka selama tiga bulan dan membukanya
kembali pada 1948 sebagai sebuah stan dengan menu sederhana berupa hamburger, kentang goreng, milk shake. kopi dan cola-cola,
yang dilayankan dalam bungkusan kertas yang langsung dibuang. Hasilnya, mereka
dapat memproduksi hamburger dan kentang goreng terus-menerus, tanpa menunggu
pesanan pelanggan dan menyajikannya dengan segera. Hingga sekarang makanan siap
saji ini dapat di temukan hampir di seluruh kota di dunia. Menurut Penelitian
yang dilakukan oleh Amerika Serikat bahwa tingkat obesitas di negara mereka
adalah yang tertinggi dibandingkan negara lain, salah satu penyebabnya adalah
perilaku konsumtif masyarakat terhadap makanan siap saji. Mengerikan !!!
Lain makanan siap
saji, lain halnya dengan Fenomena yang satu ini.
Hingga hari ini, masih adakah yang belum mengenal apa itu pizza? Pasti
jawabannya sudah tidak ada yang belum mengenalnya, sekalipun mungkin belum
tentu sudah mencicipinya. Pizza lahir sebagai peluang
usaha dalam urusan makanan,
seperti sejak sejarah pizza itu sendiri dimulai. Pada abad ke-16 di kawasan
Timur Tengah dan Mediterania, sebuah makanan dalam loyang yang berbumbu namun
tidak dianggap di kalangan raja waktu itu diidentifikasikan sebagai pizza pada
hari-hari kemudiannya. Waktu itu makanan seperti ini beredar di kalangan
rakyat, yaitu sebuah flatbread atau makanan yang datar dari
dalam loyang dan berisi taburan irisan bumbu-bumbuan. Waktu itu makanan ini
masih dipandang sebelah mata. Kemudian pada abad ke-17, masyarakat memakan flatbread tersebut bersama saus merah di atasnya
dan banyak yang menyukainya. Seiring waktu, setelah orang-orang Eropa melakukan kontak dengan Amerika, flatbread
kemudian dimakan bersama minyak dan tomat. Bahkan, pada tahun 1889, sekelompok
koki menciptakan flatbread yang dihiasi dengan tomat, keju,
mozzarella dan kemangi dengan tampilan desain bendera Italia dan disuguhkan
untuk Ratu Italia, Margherita of Savoy. Pada awal abad ke-20, flatbread yang kemudian dikenal dengan pizza
tersebut telah dihiasi dengan keju di atasnya. Semakin tahun, kreasi toping semakin lebih baik saja, menambah cita
rasa dan performance pizza menemukan hati para
pelanggannya.
Peluang usaha pizza ternyata benar-benar mampu
meningkatkan finansial pengusahanya, sehingga banyak Outlet-outlet pizza
berkembang hingga ke Indonesia, walau masih sebagian masyarakat Indonesia tidak
terlalu familiar dengan rasanya. Hingga saat ini perkembangan kuliner di
Indonesia semakin hari semakin tersaingi oleh maraknya Gegar Budaya yang
terjadi. Contoh di atas hanya sebagian kecil yang terjadi di Indonesia, jika di
kaji lebih dalam, kita dapat menemukan pengaruh yang lebih luas mengenai
fenomena-fenomena Gegar Budaya lainnya.
Berbicara mengenai Culture Shock, mungkin tidak akan pernah habis-habisnya.
Seluruh aspek kehidupan sudah sangat terpengaruhi akan hal tersebut. Sebagai
kaum intelektual kita patut lebih kritis menanggapi Perubahan. Tidak semua hal
yang baru itu baik ataupun buruk. Kita harus cermat melihat dampak perubahan
tersebut dalam masyarakat. Walau hingga
hari ini kita masih melihat bahwa masyarakat ternyata lebih terpengaruh pada
aspek konsumerisme teknologi semata atau hanya sekedar gaya. Jadi, masyarakat
kita masih sekedar menjadi pemakai saja bukan lebih berperan aktif dalam
perkembangan. Bisa di katakan demam Konvergensi Kebudayaan sudah melanda
Indonesia, salah satunya adalah “Culture Shock”.
Sumber :

Tidak ada komentar:
Posting Komentar