(dan…Kembali)
I
Mas Gagah berubah! Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Mas Gagah, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah.
Mas Gagah Perwira
Pratama, masih kuliah tingkat akhir di Teknik Sipil UI. Ia seorang kakak yang
sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu
membiayai kuliahnya sendiri dari hasil mengajar privat matematika untuk
anak-anak SMP dan SMA, menjadi model majalah,hingga menjadi senpai di sebuah
klub karate.
“Hai cewek tomboi!”
sapanya suatu kali. “Waktunya kamu belajar bela diri! Percuma kan punya Mas
karateka sabuk hitam, kalau kamu nggak bisa karate?”
Hari-hari kami pun
bertambah dengan berlatih karate bersama. “Nggak usah kursus. Kursus sama Mas
aja. Habis ini latihan modeling ya, biar jalanmu nggak lebih gagah dari Mas!”
sindirnya sambil senyum.
Sejak kecil aku sangat
dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia
pergi. Ia yang menolong saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk
di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku
mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan
berarti banyak untukku.
Saat memasuki usia
dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami
akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film, konser musik atau
sekadar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat
lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak.
Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami
latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di Kemang atau tempat-tempat
yang sedang happening.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya!
“Kakak kamu itu keren,
cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”
“Git, gara-gara kamu
bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman
cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?”
“Gimana ya Git, agar
Mas Gagah suka padaku?”
Dan masih banyak
lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum
punya pacar. Apa jawabnya?
“Mas belum minat tuh!
Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran, banyak anggaran. Banyak
juga yang patah hati! Hehehe,” kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam
pandanganku adalah sosok ideal. Kombinasi yang unik dari banyak talenta. Ia
punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak
pernah meninggalkan shalat! He’s a very easy going person. Almost perfect!
Huaa, itulah Mas Gagah.
Mas Gagah-ku yang dulu! Namun seperti yang
telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah.
Drastis! Dan kalau aku tak salah, itu seusai ia pulang dari Madura.
“Memang ngapain sih
Mas, ke Madura segala? Lama lagi!”
“Diajak survei sama salah satu profesor dan kontraktor, untuk perencanaan bangunan besar di sana, Dik Manis! Sekalian penelitian skripsi Mas….”
Ah, soal bangunan dan
penelitian skripsi. Lalu kenapa Mas Gagah bisa berubah jadi aneh gara-gara hal
tersebut? Pikirku waktu itu.
“Mas ketemu kiai hebat
di Madura,” cerita Mas Gagah antusias. “Namanya Kiai Ghufron! Subhanallah, orangnya sangat bersahaja, santri-santrinya luar biasa! Di sana Mas memakai
waktu luang Mas untuk mengaji pada beliau. Dan tiba-tiba dunia jadi lebih
benderang!” tambahnya penuh semangat. “Nanti kapan-kapan kita ke sana ya, Git.
Huh.
Dan begitulah. Mas Gagah pun berubah menjadi lebay dalam hal agama seperti sekarang, hingga aku seolah tak mengenal dirinya lagi.
Dan begitulah. Mas Gagah pun berubah menjadi lebay dalam hal agama seperti sekarang, hingga aku seolah tak mengenal dirinya lagi.
Aku
sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang dulu, yang selalu kubanggakan kini entah
ke mana…
“Mas Gagah! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal
sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.
Tak ada jawaban. Padahal kata Mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
Tak ada jawaban. Padahal kata Mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikuuum!”
seruku.
Pintu kamar terbuka dan
kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin CD-nya!” kataku
sewot.
“Lho memang kenapa?”
“Gita kesel bin sebel
dengerin CD Mas Gagah!
Memangnya kita orang
Arab, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini nasyid. Bukan
sekadar nyanyian Arab tapi zikir, Gita!”
“Bodo!”
“Lho, kamar ini kan
daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan
Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas
pasang di ruang tamu, Gita ngambek, Mama bingung. Jadinya ya, dipasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita
terganggu Mas!
Lagi asyik dengerin
Lady Gaga eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasangnya
pelan-pelan.”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu
Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus,
lho! Ada koleksi Cat Steven alias Yusuf Islam yang Mas baru download nih”
“Ndak, pokoknya Gita
nggak mau denger!”
aku ngeloyor pergi
sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar
tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana CD para
rocker yang selama ini dikoleksinya?
“Wah, ini nggak seperti
itu, Gita! Dengerin Lady Gaga dan teman-temannya itu belum tentu mendatangkan
manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau
denger? Ambil aja dari laptop. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.
Oalaa!
Di satu sisi kuakui Mas
Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu, berjama’ah di masjid, ngomongnya soal
agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji
atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati
menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,
“Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela
deh kasih voucher belanja yang Mas punya buat beliin kamu rok atau baju
panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut
ditrondolin gitu!”
Uh. Padahal dulu Mas
Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboi. Dia tahu aku cuma punya
dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan
kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku
Gito, bukan Gita! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!
Hal lain yang nyebelin,
penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
“Penampilanmu kok
sekarang lain, Gah?”
“Lain gimana, Ma?”
“Ya, nggak semodis
dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang
kayak cover boy itu.”
Mas Gagah cuma senyum.
“Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih
santun.”
Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang longgar. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”
Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang longgar. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma tertawa.
Mengacak-acak rambutku dan berlalu.
Mas Gagah lebih
pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak lucu seperti dulu.
Kayaknya dia juga malas banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan.
Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan. Dan
yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih
maunya Mas Gagah?
“Sok keren banget sih
Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar
Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai
orang!”
“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat kan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu sangat baik!”
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?
“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat kan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu sangat baik!”
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?
Mas Gagah membawa
sebuah buku dan menyorongkannya padaku. “Nih, baca, Dik!”
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!” Si Mas tersenyum.
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!” Si Mas tersenyum.
“Tapi Kiai Anwar mau
salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali,” kataku.
“Bukankah Rasulullah
uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku.
“Biar saja mereka begitu, tetapi Mas tidak, nggak apa kan? Coba untuk mengerti
dan menghargai ya, Dik Manis?”
Dik Manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Dik Manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku
Mas Gagah sekarang terlalu fanatik! Aku jadi khawatir. Ah, aku juga takut kalau
dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun, akhirnya aku nggak
berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah!
Umurnya baru 20 tahun tapi sudah skripsi di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya
jernih dan tajam. Hanya, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik
napas dalam-dalam.
“Nonton sama teman-teman.”
Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang
kebanyakan nolaknya!”
“Ikut Mas aja, yuk!”
“Kemana? Ke tempat yang
waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku pengajian di rumah temannya. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jins belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tak bisa kusembunyikan, meski sudah memakai topi. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai mengaji. Aku nolak sambil mengancam tak mau ikut.
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku pengajian di rumah temannya. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jins belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tak bisa kusembunyikan, meski sudah memakai topi. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai mengaji. Aku nolak sambil mengancam tak mau ikut.
“Assalaamu’alaikum!”
terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab
salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku
sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, senyum
sedikit, nggak ngelirik aku, persis kelakuannya Mas Gagah.
“Lewat aja nih, Mas?
Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.
Dulu nggak ada deh
teman Mas Gagah yang nggak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah jarang
memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan ganteng.
Mas Gagah menempelkan
telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”
Seperti
biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keIslaman,
diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab, yaaa begitu deh!
“Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Huss! Untuk laki-laki
ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa
saudara seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu
Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di
sekolah ini.”
Aku manggut-manggut.
Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh, Git. Nggak
usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu
meyeluruh tentang din kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah
bukanlah orang-orang yang error atau ke arah teroris. Nggak-lah. Mereka hanya
berusaha mengamalkan Islam dengan baik. Kitanya saja yang mungkin belum
mengerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat
kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini.
Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
“Eh, kapan main ke
rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita,” ujar Tika
tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan
kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah,” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura
cuek tak peduli. Aku sedih.”
Tika menepuk pundakku.
Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau membicarakan hal
ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian
kukenalkan pada Mbak Nadia.”
“Mbak Nadia?”
“Mbak Nadia?”
“Sepupuku
yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah
hidayah!”
“Hidayah?”
“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Nadia!”
“Assalaamu’alaikum, Mas
Ikhwan, eh Mas Gagah!” tegurku ramah.
“Hidayah?”
“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Nadia!”
“Eh adik Mas Gagah!
Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas Gagah
pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika, teman
sekolah,” jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya.
Kuamati beberapa poster kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina. Puisi-puisi
Muhammad Iqbal tentang pemuda Islam yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu
empat rak koleksi buku ke-Islaman….
“Cuma lagi baca, Git,” katanya.
“Cuma lagi baca, Git,” katanya.
“Buku apa?”
“Tumben kamu pengin
tahu?”
“Tunjukin dong, Mas.
Buku apa sih?” desakku.
“Eit, Eiiit!” Mas Gagah
berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia
tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya
dengan wajah setengah memerah.
“Nah yaaaa!” aku
tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku Memilih Jodoh
dan Tata Cara Meminang dalam Islam itu….
“Maaaas….”
“Apa, Dik manis?”
“Gita akhwat bukan
sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Gita akhwat apa bukan?
Ayo jawab,” tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore
itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah,
tentang Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang indah namun diabaikan dan tak
dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang sering jadi sasaran
fitnah dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian
lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!
Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!
“Mas, kok nangis?”
“Mas sedih karena
Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang
banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat
Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara kita di
negeri sendiri banyak yang mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap
langit, sementara di belahan bumi lainnya sedang diperangi….”
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli.
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli.
“Kok tumben Gita mau
dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan
sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
“Emangnya Gita ngerti
yang Mas katakan?”
“Tenang aja, Gita
nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Nadia juga pernah menerangkan hal
demikian. Aku mengerti meski tak mendalam.
Malam
itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku
dapat hidayah!
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat
lagi, meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu. Sebenarnya
banyak hal yang belum bisa kupahami, belum bisa kuterima dari keberadaan Mas
Gagah, tetapi sungguh aku tak mau kehilangan sosoknya. Aku ingin bisa menjaga
kedekatan kami selama ini.
Kini tiap hari Minggu
kami ke berbagai masjid, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat
tabligh akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila
sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
“Masa sekali aja nggak
bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya
kapan?” tegurku.
Biasanya Papa hanya
mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah Mas Gagah
mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya
pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga begitu:
dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama suvenir, para tamu dibagikan
risalah nikah juga.
Dalam perjalanan
pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam
Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Ia juga
wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat
cewek!
Aku nyengir kuda.
“Mungkin kamu, mungkin
kita nggak setuju, Sayang, Tapi coba untuk menghargai ya?” katanya sambil
mengusap kepalaku.
Kini tampaknya Mas
Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju
yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Coba pakai jilbab,
Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan
udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!”
Mas Gagah tersenyum.
“Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan insya Allah lebih dicintai Allah.
Kayak Mama”.
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab. Gara-garanya dinasehati terus sama si Mas, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikompori sama teman-teman pengajian beliau.
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab. Gara-garanya dinasehati terus sama si Mas, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikompori sama teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau, tapi nggak
sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini,
prospek masa depan, calon suami nanti, dan semacamnya.
“Itu bukan halangan,”
ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan
kepala. Heran. Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama
Mas Gagah!
“Ini hidayah, Gita!”
kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah?
Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah
hidayah!”
“Lho?” Mas Gagah bengong.
“Lho?” Mas Gagah bengong.
Dengan penuh
kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Bagaimana tak bangga? Dalam acara
seminar umum tentang generasi muda Islam yang diadakan di UI, Mas Gagah menjadi
salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini
rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas Gagah-ku!”
Mas Gagah tampil
tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya
luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih
mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis Rasul. Menjawab semua pertanyaan
dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan
materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh
kiai-kiai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar!
Pembicara yang lain
Mbak Nadia Hayuningtyas. Diam-diam aku makin kagum pada kakaknya Tika ini.
Lembut, cantik. Cocok kali ya sama Mas Gagah! Hihi, aku jadi nyengir sendiri.
Tika yang duduk di sebelahku juga tampaknya punya pikiran yang sama. Jadi kami
sering lirik-lirikan dan senyum-senyum sendiri.
Ketika sesi pertanyaan
dibuka lagi, aku mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Ada beberapa yang ingin bertanya.
Yup alhamdulillah moderator memilihku!
“Yes!” kata Tika.
Kulihat Mas Gagah
tersenyum dari jauh.
“Assalaamu’alaikum,
saya Gita, masih SMA. Mau nanya nih, gimana sih hukumnya jilbab? Kan sunnah
ya?” tanyaku sambil sok menjawab sendiri.
Hadirin kasak kusuk.
“Ih, kok tanya itu
lagi. Kan udah aku kasih tahu itu wajib,”sela Tika setengah berbisik.
Aku tak peduli. “Ya, setahu saya sih gitu. Ada banyak teman saya masuk pesantren. Di sana mereka pakai jilbab, tapi pas keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yang jadi rocker.”
Aku tak peduli. “Ya, setahu saya sih gitu. Ada banyak teman saya masuk pesantren. Di sana mereka pakai jilbab, tapi pas keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yang jadi rocker.”
Gerrrrr, hadirin
tertawa. Tika menatapku sambil geleng-geleng kepala.
Aku bingung, tapi tetap
semangat. “Kayak saya nih.. Saya mau pakai jilbab, tapi ya ntar, nunggu udah
nikah, udah tua atau pensiun. Lagian yang penting kan kita bisa jilbabin hati,
ya ga? Buat apa pakai jilbab kalau nggak bisa jilbabin hati. Mendingan nggak
dong!”
Hadirin riuh rendah,
bertepuk tangan.
Moderator garuk-garuk
kepala, persis Tika, di sampingku. “Oke, pertanyaan ditampung.”
Saat moderator meminta para pembicara menanggapi, Mbak Nadia tersenyum, “Sahabat sekalian, sebagai seorang muslimah, sedikitnya saya punya 8 alasan mengapa saya memakai jilbab.”
Aku menatap Mbak Nadia yang tampak lebih cantik dengan jilbab ungunya.
Saat moderator meminta para pembicara menanggapi, Mbak Nadia tersenyum, “Sahabat sekalian, sebagai seorang muslimah, sedikitnya saya punya 8 alasan mengapa saya memakai jilbab.”
Aku menatap Mbak Nadia yang tampak lebih cantik dengan jilbab ungunya.
“Mengapa saya
mengenakan jilbab?. Alasan pertama karena berjilbab adalah perintah Allah dalam
surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31. Kedua, karena jilbab merupakan
identitas utama untuk dikenali sebagai seorang muslimah. Astri Ivo, seorang
artis, justru mulai menggunakan jilbab saat kuliah di jerman. Saya
Alhamdulillah mulai mengenakannya saat kuliah di Amerika.”
“Wuuuuiiiiih,” hadirin
berdecak kagum.
Alasan ketiga saya
mengenakan jilbab, karena dengan berjilbab saya merasa lebih aman dari
gangguan. Dengan berjilbab, orang akan menyapa saya “Assalamu’alaikum”, atau
memanggil saya “Bu Haji” yang juga merupakan do’a. Jadi selain merasa aman,
bonusnya adalah mendapatkan do’a. Hal ini akan berbeda bila muslimah mengenakan
pakaian yang ‘you can see everything’.
Hadirin tertawa. Hmmm.
Hadirin tertawa. Hmmm.
“ Alasan keempat,
dengan berjilbab, seorang muslimah akan merasa lebih merdeka dalam artian yang
sebenarnya. Perempuan yang memakai rok mini di dalam angkot misalnya akan resah
menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya dengan tas tangan. Nah, kalau saya
naik angkot dengan berbusana muslimah saya bisa duduk seenak saya. Ayo, lebih
merdeka yang mana?”
Hadirin tertawa lagi.
“Alasan kelima, dengan
berjilbab, seorang muslimah tidak dinilai dari ukuran fisiknya. Kita tidak akan
dilihat dari kurus, gemuknya kita. Tidak dilihat bagaimana hidung atau betis
kita…. melainkan dari kecerdasan, karya dan kebaikan hati kita.”
Aku menunduk. Benar
juga.
“Keenam, dengan
berjilbab kontrol ada di tangan perempuan, bukan lelaki. Perempuan itu yang
berhak menentukan pria mana yang berhak dan tidak berhak melihatnya”.
Hadirin
manggut-manggut. Yes!
“Ke tujuh. Dengan
berjilbab pada dasarnya wanita telah melakukan seleksi terhadap calon suaminya.
Orang yang tidak memiliki dasar agama yang kuat, akan enggan untuk melamar
gadis berjilbab, bukan?”
Aku menunduk lebih dalam.
Aku menunduk lebih dalam.
“Terakhir, berjilbab
tak pernah menghalangi muslimah untuk maju dalam kebaikan,” ujar Mbak Nadia. “O
ya berjilbab memang bukanlah satu-satunya indikator ketakwaan, namu berjilbab
merupakan sebuah realisasi amaliyah dari keimanan seorang muslimah. Jadi
lakukanlah semampunya. Tak perlu ada pernyataan-pernyataan negatif seperti
“Kalau aku hati dulu yang dijilbabin”. Hati kan urusan Allah, tugas kita
beramal saja dengan ikhlas.”
“Setujuuuu,” koor
hadirin.
“Nah, sebagai bagian
dari ummat yang besar ini, masalah jilbab bukanlah masalah yang harus membuat
kita bertengkar. Pakailah dengan kesadaran dan jangan mengejek atau memaksa
muslimah yang belum memakainya, malah kita harus merangkul mereka. Tunjukkan
ahlak kita yang indah sebagai muslimah.”
Kini semua orang bertepuk tangan.
Kini semua orang bertepuk tangan.
Aku berdiri memberi
applaus pada Mbak Nadia. Keren banget alasannya berjilbab. “Alasan ini Mbak,
yang bisa saya terima!” teriakku. “Biasanya yang saya dengar: kita, perempuan
pakai jilbab untuk membantu lelaki menjaga pandangannya. Huh parah! Sebel
dengarnya! Kenapa harus kita yang repot menjaga pandangan mereka? Nggak banget
deh!” teriakku.
Gerrrrrrr, para hadirin
tertawa lagi. Sebagian menunjuk-nunjuk ke arahku. Tika menarik-narik ujung baju
menyuruhku kembali duduk.
Tiba-tiba, kudengar
suara Mas Gagah, “Moderator dan hadirin, perkenalkan, penanya tentang jilbab
ini adalah adik saya Gita Ayu Pertiwi.”
Semua orang menoleh
kepadaku yang masih berdiri. Aku salah tingkah. Mas Gagah tersenyum. Mbak Nadia
juga. Tika nyengir. Aku makin salah tingkah.
“Insya Allah
sebagaimana kita semua, Gita sedang berproses menjadi pribadi yang lebih baik.
Ishlah dalam setiap desah napas. Kita doakan ya agar Allah memberi semua
kebaikan, hidayahnya kepada Gita… dan kita semua di sini.”
“Aaamiiiiiin,” seru
hadirin. Suara Tika terdengar paling keras.
Mas Gagah tersenyum
dari jauh. Alhamdulillah sepertinya ia tak marah padaku..
“Masih mau ikut Mas
nggak?” tanya Mas Gagah saat kami berdua dalam perjalanan pulang.
“Mau. Ke mana, Mas? Ke tempat Mbak Nadia?” godaku. “Kirain belum kenal sama kakaknya Tika, ternyata….Uuu, Gita mau tuh jadi adik iparnya Mbak Nadia nanti!”
“Mau. Ke mana, Mas? Ke tempat Mbak Nadia?” godaku. “Kirain belum kenal sama kakaknya Tika, ternyata….Uuu, Gita mau tuh jadi adik iparnya Mbak Nadia nanti!”
“Hus!” Mas Gagah
tersipu, menggandengku.
Mobil kami terus
berjalan, jauh sekali, melintasi entah daerah yang asing bagiku. Mas Gagah
berhenti sekali di sebuah supermarket kecil. Aku mengerutkan kening melihatnya
membeli makanan kering, mie instan beberapa kardus, buku dan alat-alat tulis.
Mau ke mana?
Hujan turun
rintik-rintik, lalu makin deras. Mobil kami susah payah masuk di jalan kecil
yang hanya pas untuk satu mobil. Jalan kumuh dengan rumah-rumah triplek dan
kardus berjejalan, di sebuah kolong jembatan di daerah Jakarta Utara.
Ketika hujan
benar-benar reda, aku mencium aroma sampah yang kuat. Kami turun dan segera
kakiku disambut cipratan air sisa hujan yang menghitam. Beberapa anak berlarian
menghampiri kami, di antaranya bertelanjang dada. Wajah mereka sumringah.
“Mas Gagah! Mas Gagah
datang! Horeeeeee!”
Mas Gagah menatapku
sambil tersenyum. “Kenalkan, ini adik-adik kita, Gita!”
Aku ternganga.
Aku ternganga.
Mataku basah saat
mereka berebutan mencium tangan kami dan tak berhenti bercerita. Mas Gagah
memeluk, bertanya ini itu, mengajarkan beberapa hal, juga sempat bermain
bersama mereka.
Belum hilang kagetku, tiga orang berbadan besar, sebagian bertato, tiba-tiba menghampiri kami. Ah tempat seperti ini memang banyak premannya. Aku sudah bersiap pasang kuda-kuda ketika kemudian….
“Gagah!”
What? Mas Gagah dan ketiga orang itu berjabat tangan lalu berangkulan sambil mengucapkan salam.
Belum hilang kagetku, tiga orang berbadan besar, sebagian bertato, tiba-tiba menghampiri kami. Ah tempat seperti ini memang banyak premannya. Aku sudah bersiap pasang kuda-kuda ketika kemudian….
“Gagah!”
What? Mas Gagah dan ketiga orang itu berjabat tangan lalu berangkulan sambil mengucapkan salam.
“Git, kenalin: ini Bang
Urip, Bang Ucok dan Kang Asep.”
Aku mengangguk sambil
mengernyitkan kening.
“Mereka yang jaga
tempat ini dan melindungi anak-anak dari orang-orang jahat. Kami berkenalan
enam bulan lalu dan membuka rumah baca bagi anak-anak di sini….”
Aku melongo. Rumah
baca? Preman?
“Ya, kami preman insyap
hahaha,” kata salah satu di antara mereka.
Aku masih tak mengerti.
“Dulu kite pernah
palakin Gagah, trus kite babak belur. Nah senpai kite palak! Hehehe,” tukas
Bang Urip padaku.
Lalu kulihat mereka
bercerita macam-macam pada Mas Gagah.
“Sudah banyak
perbaikan. Yang jadi copet sudah tak ada. Yg jadi garong apalagi. Piss, Piiis,
Gagah. Terimakasih bimbinganmu selama ini. Eh, yang mau ikut ngaji bertambah
lagi. Itu, pimpinan preman RW sebelah,” kata Bang Ucok.
“Alhamdulillah. Seru
itu Bang!” kata Mas Gagah akrab.
“Terus, anak-anak di
sini jadi tambah senang baca euy. Baca melulu. Jadi kepintaran kadang-kadang!
Kami teh bisa kalah atuh sama mereka,” selak Kang Asep sambil nyengir.
Mas Gagah tertawa.
“Nyok kite sholat dulu,
Gah. Noh mushola kite nyang bulan lalu belum kelar, sekarang ude bagus
gara-gara elo dan temen-temen lo,” ujar Bang Urip.
“Alhamdulillah,” senyum
Mas Gagah lagi, sambil memberi isyarat tangan padaku untuk melihat jauh ke
depan, arah pojok kanan dari tempat kami berdiri. Sebuah mushala kecil dengan
bata merah yang baru disemen.
“Eh, setiap ketemu kan
kite yel dulu!” kata Bang Urip.
Lalu seperti diaba-aba,
kulihat mereka semua berdiri: “Preman insaaaaap!” teriak Bang Urip.
Lalu kulihat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep melompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, berseru penuh semangat ala militer: “Huh huh huh huh: istiqomah!” Mereka berangkulan. Kemudian setengah berlari sambil tertawa, menuju mushala.
Lalu kulihat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep melompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, berseru penuh semangat ala militer: “Huh huh huh huh: istiqomah!” Mereka berangkulan. Kemudian setengah berlari sambil tertawa, menuju mushala.
Di
belakang mereka, anak-anak kecil mengikuti sambil melambai-lambai mengajakku ke
mushala pula. Ah, Mas Gagah…, apa lagi yang telah ia lakukan? Mengapa
akhir-akhir ini ia semakin sering membuatku menangis, lalu menorehkan pelangi
di dada yang sesak?
Lusa ulang tahunku. Dan
hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai
jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Nadia senang dan berulang
kali mengucap hamdalah.
“Salam nggak, Mbak,
sama Mas Gagah?” usilku.
Mbak Nadia
geleng-geleng kepala, mencubit pipi ini. “Aw!” jeritku.
Dan sekarang saatnya
memberi kejutan pada Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan
mengagetkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku.
Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan syukuran ultah ketujuh
belasku.
Kubayangkan ia akan
terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan
ceramah pada acara syukuran yang insya Allah mengundang teman-teman, anak-anak
panti yatim piatu dekat rumah kami, serta anak-anak rumah baca dan para preman
insyaf di sana. Hihi, aku tersenyum membayangkan betapa serunya nanti.
“Mas Ikhwan!! Mas
Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!” kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan
riang.
“Mas Gagah belum
pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih,
Ma?!” keluhku.
“Kan diundang ceramah
ke Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus.”
“Jangan-jangan nginep,
Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita
mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku
sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya. Mas
Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam
perjalanan. Bogor kan lumayan jauh,” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali,
Ma?” duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau
mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!”
Aku menghela napas
panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap
Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg
!” Telpon berdering.
Papa mengangkat
telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah?”
“Ada apa, Pa?” tanya
Mama cemas.
“Gagah…, kritis, Rumah
Sakit Mitra,” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaaahhh!” Air
mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak
lama kami sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku dan Mama menangis
berangkulan. Jilbab kami basah.
Beberapa suster
melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.
“Tapi saya Gita,
adiknya, Suster! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku
emosi pada suster di depanku.
Mama merangkulku,
“Sabar, Sayang, sabar.”
Di ujung ruangan Papa
tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah
mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan
hidup terus kan, Suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah
pada syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang
menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari
kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas Gagah…,” bisikku.
“Terjadi kerusuhan di Bogor. Ada ratusan orang yang ingin merusak sebuah rumah ibadah. Gagah melintasi daerah itu. Ia turun dari mobil dan berusaha menenangkan massa,” suara seorang polisi bicara pada Papa. “Ia bahkan berdiri di depan rumah ibadah itu, melindungi mereka bersama dua orang temannya.”
“Sebenarnya massa sudah tenang, mendengar apa yang disampaikan Gagah. Bahwa Islam itu mengajarkan kedamaian dan membawa pada keselamatan. Gagah bahkan bilang saatnya kita bergandeng tangan dan berjabat hati untuk membangun negeri….Mereka secara bergerombolan pun beranjak pergi,” tambah salah satu teman Mas Gagah.
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas Gagah…,” bisikku.
“Terjadi kerusuhan di Bogor. Ada ratusan orang yang ingin merusak sebuah rumah ibadah. Gagah melintasi daerah itu. Ia turun dari mobil dan berusaha menenangkan massa,” suara seorang polisi bicara pada Papa. “Ia bahkan berdiri di depan rumah ibadah itu, melindungi mereka bersama dua orang temannya.”
“Sebenarnya massa sudah tenang, mendengar apa yang disampaikan Gagah. Bahwa Islam itu mengajarkan kedamaian dan membawa pada keselamatan. Gagah bahkan bilang saatnya kita bergandeng tangan dan berjabat hati untuk membangun negeri….Mereka secara bergerombolan pun beranjak pergi,” tambah salah satu teman Mas Gagah.
“Lalu kenapa jadinya
begini?” tanya Mama berlinang airmata.
“Entahlah, ketika massa
pergi, tiba-tiba kami lihat hujan batu, entah dari mana. Sebelum kami sadar apa
yang terjadi, Gagah sudah jatuh berlumuran darah!” kata teman Mas Gagah lagi.
“Kami tidak lihat siapa yang melukainya!”
“Lalu massa bubar,”
kata salah satu polisi. “Beberapa diantaranya melepas jubah yang mereka kenakan
di jalan. Katanya mereka bukan warga desa itu. Mereka entah datang darimana.”
“Orang yang menyakiti
Mas Gagah pasti orang jahat! Jahaaaaaaat! Gilaaa!” teriakku terisak.
“Mama memelukku lagi. “Pasti, Gita. Dan Mas Gagah….Mas-mu orang baik, Gita. Ia sedang berbuat baik saat terluka…,” tapi airmata Mama tak kalah deras.
“Mama memelukku lagi. “Pasti, Gita. Dan Mas Gagah….Mas-mu orang baik, Gita. Ia sedang berbuat baik saat terluka…,” tapi airmata Mama tak kalah deras.
Aku masih menangis dan
memukuli dinding. Mama dan Papa berusaha menenangkanku. Seorang teman Mas Gagah
mengingatkan bahwa ini jalan yang harus dilalui Mas Gagah.
“Jalan yang dipilih
Gagah adalah jalan mulia, Gita,” tuturnya. Jalan yang sungguh mulia. Kami
bersaksi!”
“Mana tersangkanya, Pak? Mana? Biar ia rasakan juga apa yang dirasakan Gagah sekarang! Manaaaa?” Suara seseorang, parau!
“Mana tersangkanya, Pak? Mana? Biar ia rasakan juga apa yang dirasakan Gagah sekarang! Manaaaa?” Suara seseorang, parau!
Aku menoleh. Bang Ucok
dari pemukiman kumuh itu!
Seorang polisi
menghampirinya, “Tenang, maaf…kami belum mendapatkan tersangkanya. Kami
berjanji akan mengusut tuntas kasus ini.”
Tiba-tiba kulihat di
belakang Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep tergopoh-gopoh. Mata mereka basah
dan merah. Wajah mereka kaku, penuh bias kehilangan yang dalam.
“Harusnya kite bertige
ade di sono! Harusnya kite bertige ade di sono, ya Allaaah!” suara Bang Urip.
“Gagah orang nyang paling baek, Bapak, Ibu. Dia nyang paling peduli ama kami
yang dianggap sampah masyarakat. Dia deketin kami terus lagi suseh apalagi
seneng. Kagak pernah ade unsur politiknye kayak orang-orang laen,” ujar Bang
Urip menghampiri Mama dan Papa.
“Gagah mah udah membuat
kami jadi lebih pede, lebih berarti, ngerti habluminallah habluminannaas,”
tambah Kang Asep.
Mama Papa memandang
mereka haru.
Aku masih terisak di
sudut ruangan. Geram. Marah. Pedih. Gelisah. Sampai kulihat Tika dan Mbak Nadia
datang. Setelah mengucapkan simpati pada Mama dan Papa, mereka menghampiri,
berusaha menenangkan dan menghiburku.
Tiga jam kemudian kami
masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU mulai sepi. Tinggal kami,
seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis,
Tika, Mbak Nadia, serta beberapa sahabat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip dan
Kang Asep. Aku sudah lebih tenang, berzikir dan terus berdoa, dibimbing Mbak
Nadia. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah, Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah,
ummat juga.”
Tak lama dokter Joko
yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama
Ibu, bapak, dan Gi….”
“Gita…,” suaraku serak
menahan tangis.
“Pergunakan waktu yang
ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan.
Maafkan saya, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir Dokter Joko
mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
“Mas…, ini Gita, Mas…,”
sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah
bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai… jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai… jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh Mas Gagah
bergerak lagi.
“Zikir, Mas,” suaraku
bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup
perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi…ta….”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di sini, Mas.
Semua ada di sini. Mama, Papa, Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep, Mbak Nadia,
Tika, yang lain juga….
Perlahan kelopak matanya
terbuka. Aku tersenyum.
“Gita udah pakai
jilbab,” kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas
Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa
menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami
semua berkumpul.
Kian lama kurasakan
tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak.
Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa
membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi
airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak, Mas,” kataku sambil
menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas
Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti yang dikatakan Mbak
Nadia, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu lebih tahu apa yang terbaik
bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa…llah…,
Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,” suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk
kami dengar.
Mas Gagah telah kembali
pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Aku memeluk tubuh yang
terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami
bersahutan walau kami rela dia pergi.
Selamat jalan, Mas
Gagah!
Buat adikku manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati,
yang selalu mengedepankan nurani,
Agar Allah selalu besertamu.
Ingat Islam itu indah…
Islam itu cinta…
Kalau kau tak setuju pada suatu kebaikan,
yang mungkin belum kau pahami,
kau selalu bisa menghargainya…
Sun Sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!
Kubaca berulang kali
kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Rok dan blus panjang,
serta jilbab hijau muda, manis sekali. Ah, ternyata Mas Gagah telah
mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas
Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan Dik Manis, Aku rindu suara nasyid.
Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan
kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya gambar-gambar kaligrafi
di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi Iqbal tentang pemuda yang seolah
bergema di ruang ini.
Lalu wajah adik-adik di
kolong jembatan berlintasan, wajah Bang Ucok, Bang Urip, kang Asep…, Mbak
Nadia, doa-doa buat negeri dan ummat yang selalu ia panjatkan….
Setitik air mataku
jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, Insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”
“Kok nanya gitu?”
“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya dikit!”
“Ganteng kan?”
“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong! Jihad itu kamu sungguh-sungguh berbuat baik…”
Setetes, dua tetes, air
mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu.
Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan!
Selamat jalan, Mas Gagah…
bersambung ke bagian 2 ........
Sumber : masgagah.com