Sebagai bentuk kemajuan teknologi, televisi merupakan media komunikasi yang berfungsi memberikan informasi atas hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh khalayak, menafsirkan apa yang patut disampaikan kepada khalayak dan sebagai media pendidik yang menjembatani tata nilai dan budaya. Setidaknya inilah pendapat Harold D. Laswell ketika mengungkapkan fungsi dari televisi. Selayaknya memang demikian, dengan televisi kita dapat mengetahui dengan cepat peristiwa yang ada dibelahan dunia, namun pertanyaannya adalah apakah televisi benar-benar menanyakan sebuah realitas dan apakah fungsinya sebagai pendidik benar-benar ada?
Televisi
dipenuhi oleh stasiun stasiun TV yang menampilkan banyak program-program acara
dan tentu saja spot-spot iklan. Keberadaannya pun dapat kita temui dengan
mudah, televisi kini dipanjang hampir disetiap rumah, pertokoan, cafe-cafe
ibukota bahkan diapotik sekalipun. Televisi seolah-olah menjelma menjadi “teman
hidup” masyarakat menemani anda disaat menikmati waktu luang atau menjalani
kebersamaan dengan keluarga. Mungkin anda pun akan hafal dengan semua tayangan
di televisi bahkan dengan antusias nya akan menunggu acara atau idola yang
menjadi kegemaran anda. Kini televisi menjadikan penonton sebagai penikmat
bahkan pemakai setia.
Namun
sadarkah anda bahwa TV telah membalik
logika: Jika dahulu, kita yang menonton
televisi namun kini, televisi-lah yang menonton manusia. Hal ini pula
yang dikatakan oleh Jean Baudrillard dan
saya sependapat dengan ungkapan tersebut. Pada perkembangannya, televisi kini
hanya menjadi sarana komoditi industri. Penyiaran yang luas membuat televisi menjadi media yang amat
menarik bagi para pengiklan. Mereka menjadikan televisi
sebagai wahana pencitraan, memanipulasi produk dengan begitu menawan. Perlahan
tapi pasti televisi menggiring penikmatnya untuk memproyeksikan diri
seolah-olah menjadi bagian dari citra yang hendak dibangun.
Sebagai
contohnya adalah bagaimana TV menertawakan anda
ketika mempertontonkan produk-produk terbaru dan membandingkannya dengan
produk ketinggalan zaman, seketika pula TV akan menyihir anda untuk senantiasa
haus akan sesuatu yang baru, untuk kemudian memilikinya dan membuang sesuatu
yang sudah dianggap kuno. Televisi
menuntun seseorang untuk mempercayai apa yang ditampilkan. Berbagai iklan mendorong
seseorang untuk selalu membeli, berbelanja dan hidup dalam gaya yang tak pernah
puas. Bahkan televisi menjadi ajang komoditas yang dipaketkan, dimana bukan
hanya produk yang diiklankan tetapi juga figur sang bintang
Berbagai
perkara perlawanan, kekerasan, kriminalitas bahkan perang sekali pun menjadi
sarana bisnis hiburan ditelevisi. Kita seakan berkompromi untuk membiarkan hal
tersebut diekspos dan tayangkan dengan leluasa. Menjadikannya sebagai hal yang
lumrah untuk ditonton. Bagaimana pengaruh film-film atau sinetron membentuk
kebiasaan baru dalam masyarakat. Ia berkembang menjadi animo yang tak
habis-habisnya. Lihat saja bagaimana komoditi pencitraan juga digunakan oleh
pemerintah untuk mendukung kebijakan, sarana kampanye partai-partai,
mengemasnya menjadi begitu indah dan puitis namun pada realitasnya semua itu
hanya dijadikan objek untuk mencari keuntungan.
Tidak
dipungkiri lagi, televisi kini telah membangun ideologinya sendiri, ia menjadi
penentu apa yang khalayak butuhkan, menjadi media sasaran yang disukai khalayak
dan pembentuk opini khalayak. Kini televisi
menjadi sumber terpercaya bagi khalayak atas pembenaran suatu peristiwa. Harus
diakui, televisi memang menjadi lahan pendidik jitu, ia menjadi agen perubahan
dalam tatanan masyarakat, ia seolah-olah menjadikan penonton sebagai boneka
yang dapat ia arahkan sesuka hati sesuai dengan keinginan dan tujuannya. Hingga
saat ini, televisi masih menjadi momok komodifikasi budaya dan pencipta krisis
demokrasi yang sesungguhnya.

