Kamis, 19 Desember 2013

Krisis Demokrasi dan Komodifikasi Budaya di Televisi (Sebuah Resume)




        Sebagai bentuk kemajuan teknologi, televisi merupakan media komunikasi yang berfungsi memberikan informasi atas hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh khalayak, menafsirkan  apa yang patut disampaikan kepada khalayak dan  sebagai media pendidik yang menjembatani tata nilai dan budaya. Setidaknya inilah pendapat Harold D. Laswell ketika mengungkapkan fungsi dari televisi. Selayaknya memang demikian, dengan televisi kita dapat mengetahui dengan cepat peristiwa yang ada dibelahan dunia, namun pertanyaannya adalah apakah televisi benar-benar menanyakan sebuah realitas dan apakah fungsinya sebagai pendidik benar-benar ada?


Televisi dipenuhi oleh stasiun stasiun TV yang menampilkan banyak program-program acara dan tentu saja spot-spot iklan. Keberadaannya pun dapat kita temui dengan mudah, televisi kini dipanjang hampir disetiap rumah, pertokoan, cafe-cafe ibukota bahkan diapotik sekalipun. Televisi seolah-olah menjelma menjadi “teman hidup” masyarakat menemani anda disaat menikmati waktu luang atau menjalani kebersamaan dengan keluarga. Mungkin anda pun akan hafal dengan semua tayangan di televisi bahkan dengan antusias nya akan menunggu acara atau idola yang menjadi kegemaran anda. Kini televisi menjadikan penonton sebagai penikmat bahkan pemakai setia.

Namun sadarkah anda bahwa TV  telah membalik logika: Jika dahulu, kita yang menonton televisi namun kini, televisi-lah yang menonton manusia. Hal ini pula yang  dikatakan oleh Jean Baudrillard dan saya sependapat dengan ungkapan tersebut. Pada perkembangannya, televisi kini hanya menjadi sarana komoditi industri. Penyiaran yang luas membuat televisi menjadi media yang amat menarik bagi para pengiklan. Mereka menjadikan televisi sebagai wahana pencitraan, memanipulasi produk dengan begitu menawan. Perlahan tapi pasti televisi menggiring penikmatnya untuk memproyeksikan diri seolah-olah menjadi bagian dari citra yang hendak dibangun.

Sebagai contohnya adalah bagaimana TV menertawakan anda  ketika mempertontonkan produk-produk terbaru dan membandingkannya dengan produk ketinggalan zaman, seketika pula TV akan menyihir anda untuk senantiasa haus akan sesuatu yang baru, untuk kemudian memilikinya dan membuang sesuatu yang sudah dianggap kuno. Televisi menuntun seseorang untuk mempercayai apa yang ditampilkan. Berbagai iklan mendorong seseorang untuk selalu membeli, berbelanja dan hidup dalam gaya yang tak pernah puas. Bahkan televisi menjadi ajang komoditas yang dipaketkan, dimana bukan hanya produk yang diiklankan tetapi juga figur sang bintang

Berbagai perkara perlawanan, kekerasan, kriminalitas bahkan perang sekali pun menjadi sarana bisnis hiburan ditelevisi. Kita seakan berkompromi untuk membiarkan hal tersebut diekspos dan tayangkan dengan leluasa. Menjadikannya sebagai hal yang lumrah untuk ditonton. Bagaimana pengaruh film-film atau sinetron membentuk kebiasaan baru dalam masyarakat. Ia berkembang menjadi animo yang tak habis-habisnya. Lihat saja bagaimana komoditi pencitraan juga digunakan oleh pemerintah untuk mendukung kebijakan, sarana kampanye partai-partai, mengemasnya menjadi begitu indah dan puitis namun pada realitasnya semua itu hanya dijadikan objek untuk mencari keuntungan.

Tidak dipungkiri lagi, televisi kini telah membangun ideologinya sendiri, ia menjadi penentu apa yang khalayak butuhkan, menjadi media sasaran yang disukai khalayak dan pembentuk opini khalayak. Kini televisi menjadi sumber terpercaya bagi khalayak atas pembenaran suatu peristiwa. Harus diakui, televisi memang menjadi lahan pendidik jitu, ia menjadi agen perubahan dalam tatanan masyarakat, ia seolah-olah menjadikan penonton sebagai boneka yang dapat ia arahkan sesuka hati sesuai dengan keinginan dan tujuannya. Hingga saat ini, televisi masih menjadi momok komodifikasi budaya dan pencipta krisis demokrasi yang sesungguhnya.

WARTAWAN IDEAL


    
       
    Menurut kamus jurnalistik, Wartawan berasal dari kata “warta” yang berarti kabar atau informasi terbaru. Wartawan merupakan orang yang secara rutin melakukan aktivitas jurnalistik, yakni kegiatan mencari, meliput, menulis, menyusun, menyunting dan menyebarluaskan berita atau informasi melalui media masa. Wartawan sesungguhnya adalah sebuah profesi karena memiliki 4 hal yakni kebebasan, panggilan & keterikatan dengan pekerjaan, keahlian dan tanggung jawab. Menjadi seorang wartawan tentu tidak mudah, Ia harus memiliki kemampuan dan pengetahuan jurnalistik yang memadai. Wartawan harus memiliki sejumlah bekal yang sifatnya fundamental, elementer, dan komplementer. Secara sederhana, bekal tersebut dapat diformulasikan dalam 5 (lima) prinsip utama yaitu:


§  Pertama, seorang wartawan harus memiliki basic science (ilmu dasar) terkait dengan ilmu komunikasi massa untuk konsentrasi studi jurnalistik. Melalui basic science tersebut, seorang wartawan akan memiliki paradigma jurnalisme yang lebih sistematis dan terbingkai secara terukur. Dengan demikian, paradigma jurnalisme tersebut, dapat menjadi back mind  yang memandu wartawan dalam melaksanakan tugasnya.
§  Kedua, memiliki basic skill (keterampilan dasar).  Basic skill tersebut akan menjadi alat utama bagi wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Tanpa basic skill, seorang wartawan akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas jurnalistiknya. Betapa tidak, karena tugas jurnalistik bukanlah hal yang mudah dan bisa dilaksanakan oleh sembarang orang dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah terlatih secara khusus.
§  Ketiga, terikat dan patuh pada aturan hukum serta etika moral profesi. Sebagai sebuah profesi, tidak bisa tidak ia harus terikat dengan kode etik. Kode etik inilah yang membingkai dan memandu wartawan agar tidak melenceng atau mengkhianati profesinya dalam berkarya. Hukum dan Kode Etik tersebut, juga menjadi jaminan dan tempat perlindungan masyarakat, manakala wartawan telah melenceng dan mencederai kepentingan publik.
              Dibandingkan dengan ketaatan dan keterikatan pada aturan hukum, menaati etika moral profesi, jauh lebih sulit dan kompleks. Demikian kata  John C Merril wartawan kawakan Amerika. Tidak heran, jika harian terkemuka seperti Wall Street Journal dalam salah satu tajuknya, menuliskan bahwa; “Kita akan terpaksa membunuh etika sebelum etika membunuh kita.’’  Sekaitan dengan problem etika tersebut, Ketua Dewan Pers  Bagir Manan menyatakan, bahwa dari sejumlah aduan masyarakat terkait dengan kasus pers, terdapat sekitar 80 % merupakan pelanggaran kode etik pers.
§  Keempat, memiliki sense of arts. Kerja jurnalistik adalah kerja yang memerlukan sentuhan seni, yaitu seni saat mencari, menulis dan menyampaikannya, sehingga khalayak penerima menikmati keindahan sajiannya. Dengan demikian, karya jurnalistik seorang wartawan tidak hanya membuka cakrawala rasio tetapi juga menyentuh perasaan terhalus bagi siapa saja yang menikmatinya. Melalui sentuhan seni, sebuah berita yang mengandung kritikan tajam menghunjam, tidak akan membuat obyek sasarannya tersudut dan tersinggung. Tetapi sangat boleh jadi, justru tersadarkan secara manusiawi.
§  Kelima, memiliki visi sosial kemasyarakatan. Seorang wartawan, haruslah memahami dan menyadari bahwa ia mengabdi untuk kepentingan masyarakat. Ia wajib memahami dan menghayati gerak denyut nadi masyarakat dimana ia bertugas. Dengan demikian, ia dapat membimbing kemana dan bagaimana seharusnya masyarakat tersebut berubah.

Wartawan sering disebut jantung jurnalisme. Pada dasarnya sebuah media yang dikelola oleh sumberdaya wartawan yang cakap dengan menajemen yang baik selalu memiliki peluang lebih menjadi media yang bermutu, diper­caya khalayak, dan mempunyai komunitas pembaca yang jelas. Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan wartawan yang cakap dengan moral dan mentalitas yang baik. Banyak yang cakap, tetapi akhlak dan mentalitasnya kurang . Banyak yang memiliki budi pekerti baik, tetapi kecakapannya rendah. Hasilnya, hanya sedikit yang memiliki kelengkapan sebagai seorang wartawan yang ideal, yakni yang cakap menghasilkan karya-karya jurnalistik yang baik dan bermutu sekaligus punya budi pekerti yang baik. Wartawan yang baik, harus memiliki sejumlah sifat yang harus ditanam dan dipupuk secara terus menerus, yaitu:
1. Minat yang mendalam terhadap manusia dan apa yang terjadi dengan masyarakatnya; 2. Pandai membawa diri dan selalu bersikap ramah tamah terhadap segala jeniskaraktermanusia; 3.mampu membangun kepercayaan (trust) orang terhadap dirinya; 4. Terampil berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia dan akan lebih baik lagi,jika menguasai berbagai bahasa asing; 5. Memiliki daya endus (meneliti)yang kuat dan setia kepada kebenaran; 6. Teliti dan bertanggungjawab; 7. Ikhlas mengerjakan beban kerja melebihi tugasnya; 8. Mampu bekerja lebih cepat; 9. Selalu bersikap objektif;  10. Memiliki minat yang luas; 11. Memiliki daya analisis; 12. Bersifat reaktif; 13. Teliti dalam mengobservasi; 14. Hobi membaca; 15. Selalu memperkaya diri dengan menguasai banyak bahasa.
Kelimabelas sifat dan kemampuan tersebut, menjadi syarat ideal seorang wartawan profesional. Tentu, kesemuanya tidak langsung termiliki sekaligus. Tetapi berproses secara continue dan simultan seiring dengan kematangannya secara pribadi selaku wartawan yang ingin lebih profesional. Betapa tidak, hal ini dikarenakan masyarakat sangat membutuhkan wartawan yang berkompeten. Oleh  sebab itu Profesionalisme wartawan sangat dijunjung tinggi. Seperti kita ketahui, wartawan merupakan aktor utama lembaga pers yang memiliki kekuatan untuk memengaruhi publik melalui informasi, selain itu wartawan memiliki serangkaian hak istimewa dalam menjalankan profesinya. Profesionalisme wartawan memiliki tiga arti:
o   pertama, profesional adalah kebalikan dari amatir;
o   kedua, sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus;
o   ketiga, norma-norma yang mengatur perilakunya fokus pada kepentingan khalayak.

Selanjutnya terdapat dua norma yang diidentifikasikan, yaitu: norma teknis (keharusan menghimpun berita dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting, dsb.), dan norma etis (kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggung jawab, sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif, yang semuanya harus tercermin dalam produk penulisannya).

 Dengan profesionalisme yang tinggi pada diri wartawan, ia akan senantiasa menghormati martabat setiap individu dan hak-hak pribadi warga masyarakat yang diliputnya. Demikian pula sebaliknya, seorang wartawan akan dapat menjaga martabatnya sendiri karena hanya dengan cara itu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan profesional. Untuk mencapai hal ini, wartawan perlu memiliki kedewasaan pandangan dan kematangan pikiran.  Wartawan harus memiliki landasan unsur-unsur yang sehat tentang etika dan rasa tanggung jawab atas perkembangan budaya masyarakat di mana wartawan itu bekerja. Yang perlu dingat adalah bahwa dalam bertindaknya, wartawan selalu membawa dua  hak yang penting yaitu : hak untuk tahu dan hak untuk memberi tahu pada khalayak.




Sumber :

http://puisidihas.blogspot.com/2011/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5707:wartawan-itu-tidak-gampang&catid=12:refleksi&Itemid=82
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/10/15/mencari-sosok-wartawan-idealis-495819.html
http://bugisposonline.com/bagaimanakah-wartawan-profesional-itu.htm
http://giftalvina.blogspot.com/2009/03/ciri-ciri-wartawan-profesional-serta.html
http://bejurnal.blogspot.com/2012/04/profesionalisme-wartawan-dan-wartawan.html